Pantai Gaza
Berita Terkait
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Eko Haryadi Ismail (wartawan Republika)
Kareem dan Umar berkejaran. Sekali waktu, Kareem melemparkan pasir yang tergenggam di tangannya ke tubuh Umar. Umar pun membalas.
Tawa lepas penuh keceriaan mengembang di kedua wajah bocah sepuluhan tahun ini. Sedangkan belasan teman Kareem dan Umar saling berebut bola yang liar memantul di pasir pantai.
Panas terik 40 derajat Celcius siang itu tak menyurutkan langkah ratusan anak-anak sekolah berhamburan di bibir pantai. Hari itu merupakan ‘Summer Camp’ pertama yang digelar sekolah mereka di Pantai Gaza.
Selain anak-anak SD, saya melihat ribuan warga Jalur Gaza tumpah ruah di sepanjang pantai indah Laut Mediterania itu. Sebagian berkecimpung air di pinggir pantai, sebagian lagi menantang ombak sejarak 20 meter dari tepi darat. Adapun kaum dewasanya duduk-duduk menikmati minuman dingin di bawah kafe tenda yang tersusun berjajar.
Di ujung pandangan ke arah laut, saya melihat dua kapal perang Israel sedang berpatroli. Perkiraan saya, jarak kapal perang dengan tepian Pantai Gaza tak lebih dari tiga kilometer. Sekitar 50 meter dari pantai, sebuah perahu mesin diawaki dua remaja tanggung, lalu-lalang tak menentu.
Sebuah bendera Palestina berkibar di bagian belakang perahu. Seakan mengejek kapal-kapal Israel nun jauh di sana. Perahu bermesin kecil ini sesekali bergerak zig-zag layaknya peselancar yang dikejar ombak. Suasana pantai siang itu benar-benar ramai.
Pantai Gaza membentang dari ujung selatan Jalur Gaza di Rafah sampai ujung utara di Beit Lehiya atau Jabaliya. Jalur Gaza memang daerah pesisir yang diapit gurun pasir nan luas. Panjang Pantai Gaza sama dengan panjang Jalur Gaza, sekitar 45 kilometer.
Jika di sebelah barat Jalur Gaza dibatasi laut, di sebelah timur berbatasan dengan Israel. Jarak antara pantai dan perbatasan Gaza-Israel tak lebih dari 10 kilometer.
Bagi rakyat Gaza, pantai ini satu-satunya destinasi wisata yang bisa mereka datangi. Tentu, bukan hanya karena pantainya yang indah, melainkan memang mereka tak bisa ke mana-mana lagi. Semua pintu perbatasan di utara dan timur dikuasai Israel. Negara Zionis itu yang menentukan siapa dan apa yang bisa masuk lewat pintu-pintu perbatasan. Tentu saja, tertutup sama sekali untuk perlintasan rakyat Gaza.
Satu-satunya harapan akses keluar adalah pintu perbatasan Rafah di selatan. Namun, bukan perkara mudah bagi rakyat Gaza melintasi pintu perbatasan Palestina-Mesir itu.
Karena blokade Israel dan Mesir, hanya pantai satu-satunya pilihan masyarakat Gaza menghabiskan waktu liburan seperti sekarang ini,’’ jelas Aiman Abu Einen, dosen Al-Quds Open University, yang menjadi ‘pemandu tur’ saya hari itu.
Aiman adalah pemuda 23 tahun tamatan studi pascasarjana bidang ilmu politik. Di Pantai Gaza, dia pun mengadukan nasib masa depannya selepas menyandang predikat master politik. Saya ingin keluar Gaza, melanjutkan studi doktor di universitas yang bagus dan kembali ke sini untuk mengamalkan ilmu saya,’’ papar Aiman.
Dari kemampuan bahasa Inggrisnya yang lebih dari fasih, saya sudah mengira otak Aiman encer luar biasa. Benar saja. Aiman adalah pemegang tiga beasiswa program doktor (S3) dari universitas terkemuka di Dubai, Libia, dan Malaysia. Sayang, kendala visa menghalangi Aiman mewujudkan panggilan ketiga universitas yang menawarinya beasiswa itu.
Tapi tak apa, insya Allah setelah Palestina merdeka nanti, saya bisa kuliah di universitas manapun. Mungkin saja universitas di Indonesia,’’ tutur Aiman. Matanya melirik pada saya.
Ya, langkah Aiman dan orang-orang terpelajar Gaza ibarat langkah anak-anak yang sedang berlomba melawan ombak di Pantai Gaza. Selangkah mereka maju, sepuluh langkah mereka terempas mundur. Makin maju ke tengah laut, makin keras tamparan ombak menghanyutkan badan kembali ke pantai.
Tentu saja, Aiman, anak-anak kecil, dan kaum dewasa di pantai itu, berharap bendera Palestina merdeka bisa gagah berkibar tak hanya di perahu bermesin kecil yang masih lalu-lalang di depan mata saya. Tentu, mereka berharap bendera Palestina bisa berkibar di bawah pengakuan dunia.
Karena kami tak ingin terus menjadi negara tak berdaya. Kami ingin berdaulat, maju, dan berjaya seperti bangsa-bangsa mulia lainnya,’’ kata Aiman. Saya mengucap amin dalam hati.
Dua kapal perang Israel makin terlihat samar di ujung sana. Semoga menjadi pertanda makin jauhnya duka nestapa rakyat Gaza.
Kareem dan Umar berkejaran. Sekali waktu, Kareem melemparkan pasir yang tergenggam di tangannya ke tubuh Umar. Umar pun membalas.
Tawa lepas penuh keceriaan mengembang di kedua wajah bocah sepuluhan tahun ini. Sedangkan belasan teman Kareem dan Umar saling berebut bola yang liar memantul di pasir pantai.
Panas terik 40 derajat Celcius siang itu tak menyurutkan langkah ratusan anak-anak sekolah berhamburan di bibir pantai. Hari itu merupakan ‘Summer Camp’ pertama yang digelar sekolah mereka di Pantai Gaza.
Selain anak-anak SD, saya melihat ribuan warga Jalur Gaza tumpah ruah di sepanjang pantai indah Laut Mediterania itu. Sebagian berkecimpung air di pinggir pantai, sebagian lagi menantang ombak sejarak 20 meter dari tepi darat. Adapun kaum dewasanya duduk-duduk menikmati minuman dingin di bawah kafe tenda yang tersusun berjajar.
Di ujung pandangan ke arah laut, saya melihat dua kapal perang Israel sedang berpatroli. Perkiraan saya, jarak kapal perang dengan tepian Pantai Gaza tak lebih dari tiga kilometer. Sekitar 50 meter dari pantai, sebuah perahu mesin diawaki dua remaja tanggung, lalu-lalang tak menentu.
Sebuah bendera Palestina berkibar di bagian belakang perahu. Seakan mengejek kapal-kapal Israel nun jauh di sana. Perahu bermesin kecil ini sesekali bergerak zig-zag layaknya peselancar yang dikejar ombak. Suasana pantai siang itu benar-benar ramai.
Pantai Gaza membentang dari ujung selatan Jalur Gaza di Rafah sampai ujung utara di Beit Lehiya atau Jabaliya. Jalur Gaza memang daerah pesisir yang diapit gurun pasir nan luas. Panjang Pantai Gaza sama dengan panjang Jalur Gaza, sekitar 45 kilometer.
Jika di sebelah barat Jalur Gaza dibatasi laut, di sebelah timur berbatasan dengan Israel. Jarak antara pantai dan perbatasan Gaza-Israel tak lebih dari 10 kilometer.
Bagi rakyat Gaza, pantai ini satu-satunya destinasi wisata yang bisa mereka datangi. Tentu, bukan hanya karena pantainya yang indah, melainkan memang mereka tak bisa ke mana-mana lagi. Semua pintu perbatasan di utara dan timur dikuasai Israel. Negara Zionis itu yang menentukan siapa dan apa yang bisa masuk lewat pintu-pintu perbatasan. Tentu saja, tertutup sama sekali untuk perlintasan rakyat Gaza.
Satu-satunya harapan akses keluar adalah pintu perbatasan Rafah di selatan. Namun, bukan perkara mudah bagi rakyat Gaza melintasi pintu perbatasan Palestina-Mesir itu.
Karena blokade Israel dan Mesir, hanya pantai satu-satunya pilihan masyarakat Gaza menghabiskan waktu liburan seperti sekarang ini,’’ jelas Aiman Abu Einen, dosen Al-Quds Open University, yang menjadi ‘pemandu tur’ saya hari itu.
Aiman adalah pemuda 23 tahun tamatan studi pascasarjana bidang ilmu politik. Di Pantai Gaza, dia pun mengadukan nasib masa depannya selepas menyandang predikat master politik. Saya ingin keluar Gaza, melanjutkan studi doktor di universitas yang bagus dan kembali ke sini untuk mengamalkan ilmu saya,’’ papar Aiman.
Dari kemampuan bahasa Inggrisnya yang lebih dari fasih, saya sudah mengira otak Aiman encer luar biasa. Benar saja. Aiman adalah pemegang tiga beasiswa program doktor (S3) dari universitas terkemuka di Dubai, Libia, dan Malaysia. Sayang, kendala visa menghalangi Aiman mewujudkan panggilan ketiga universitas yang menawarinya beasiswa itu.
Tapi tak apa, insya Allah setelah Palestina merdeka nanti, saya bisa kuliah di universitas manapun. Mungkin saja universitas di Indonesia,’’ tutur Aiman. Matanya melirik pada saya.
Ya, langkah Aiman dan orang-orang terpelajar Gaza ibarat langkah anak-anak yang sedang berlomba melawan ombak di Pantai Gaza. Selangkah mereka maju, sepuluh langkah mereka terempas mundur. Makin maju ke tengah laut, makin keras tamparan ombak menghanyutkan badan kembali ke pantai.
Tentu saja, Aiman, anak-anak kecil, dan kaum dewasa di pantai itu, berharap bendera Palestina merdeka bisa gagah berkibar tak hanya di perahu bermesin kecil yang masih lalu-lalang di depan mata saya. Tentu, mereka berharap bendera Palestina bisa berkibar di bawah pengakuan dunia.
Karena kami tak ingin terus menjadi negara tak berdaya. Kami ingin berdaulat, maju, dan berjaya seperti bangsa-bangsa mulia lainnya,’’ kata Aiman. Saya mengucap amin dalam hati.
Dua kapal perang Israel makin terlihat samar di ujung sana. Semoga menjadi pertanda makin jauhnya duka nestapa rakyat Gaza.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ^_^ ! Silahkan tinggalkan komentar untuk respon/pertanyaan.
[-] jangan berkomentar SPAM (promosi, dll,)
[-] jangan komentar yang berisi link hidup,
[-] jangan berkomentar yang tidak relevan dan berkualitas rendah ,karena akan saya abaikan dan tidak akan saya Approve. Maaf apabila ada komentar yang belum saya tanggapi karena saya tidak online 24 Jam. Terima kasih.
SERING-SERING BERKUNJUNG SOBAT