DEFINISI TAUBAT KEPADA ALLAH SWT
Taubat yang murni ialah taubat yang terhimpun padanya lima syarat.
1. Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan meniatkan taubat
itu karena mengharapkan wajah Allah dan pahalanya serta selamat dari
adzabnya.
2. Menyesal atas perbuatan maksiat itu, dengan bersedih karena
melakukannya dan berangan-angan bahwa dia tidak pernah melakukannya.
3. Meninggalkan kemasiatan dengan segera. Jika kemaksiatan itu
berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia meninggalkannya,
jika itu berupa perbuatan haram dan ia segera mengerjakannya, jika
kemaksiatan tersebut adalah meninggalkan kewajiban. Jika kemaksiatan itu
berkaitan dengan hak makhluk, maka segera ia membebaskan diri darinya,
baik dengan mengembalikannya kepada yang berhak maupun meminta maaf
kepadanya.
4. Bertekad untuk tidak kembali kepada kemasiatan tersebut di masa yang akan datang.
5. Taubat tersebut dilakukan sebelum habis masa penerimaannya, baik
ketika ajal datang maupun ketika matahari terbit dari tempat
tenggelamnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya :
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan
kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara
mereka, (barulah) ia mengatakan. ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”
[An-Nisa : 18]
AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN TAUBAT
Oleh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali
http://www.almanhaj.or.id/content/2169/slash/0
Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang berfirman.
"Artinya :
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." [An-Nuur: 31]
Dzat Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang berfirman.
"Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam Surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang beriman yang bersamanya, sedangkan cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
[At-Tahrim:8]
PENGERTIAN TAUBAT NASHUHA
Taubat nashuha adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah
Ta'ala, tidak ada sekutu bagi-Nya dari dosa yang pernah ia lakukan
karena sengaja atau lupa dengan kembali secara benar, ikhlas, percaya,
dan berhukum dengan ketaatan yang akan mengantarkan hamba tersebut
kepada kedudukan para wali Allah yang bertakwa serta menjauhkan antara
ia dengan jalan-jalan syaitan.
WAJIBNYA TAUBAT NASHUHA
Ketahuilah wahai hamba yang bertaubat -semoga Allah memberikan
taufiq kepadamu untuk melakukan taubat yang akan menghapus dosa
sebelumnya dan semoga Allah membekalimu dengan takwa- bahwa taubat
nashuha adalah fardhu 'ain atas setiap muslim.
Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang berfirman:
"Artinya :
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." [An-Nuur: 31]
Dzat Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang juga berfirman
"Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya … ." [At-Tahriim : 8]
Allah Yang Maha Penyayang telah berfirman melalui lisan Nabi Syu’aib :
"Artinya :
Dan mohon ampunlah kepada Rabb-mu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih." [Huud: 90]
Ayat-ayat yang mulia lagi tegas ini, sesuai dengan hadits-hadits yang mulia dan shahih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai sekalian manusia bertaubatlah kalian kepada Allah, karena
sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari.”[1]
Karena itulah umat Islam -semoga Allah menambahkan kemuliaan
kepada umat ini-telah sepakat akan wajibnya melakukan taubat. Imam
al-Qurthubi rahimahullah berkata dalam kitab al-Jaami’ li Ahkaamil
Qur’an (V/90), “Umat telah sepakat bahwa taubat adalah kewajiban
(fardhu) atas orang-orang mukmin.”
Dalam kitab Mukhtashar Minhaajul Qaashidiin, hal. 322, Ibnu Qudamah
al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Umat telah ijma' (sepakat) akan
wajibnya taubat.”
Maka bersegeralah kalian wahai para hamba Allah untuk menuju kepada-Nya,
niscaya kalian akan mendapatkannya sebagai Dzat Yang Maha Penerima
taubat dan Maha Penyayang serta berjalanlah di atas jalan orang-orang
mukmin yang bertaubat, niscaya Rabb kalian akan membangkitkan kalian
pada kedudukan yang mulia lagi terhormat.
SETIAP ANAK ADAM PASTI BERSALAH
Di antara hal yang memperkuat akan wajibnya taubat nashuha agar
dilakukan secara kontinyu dan secepat mungkin adalah bahwa manusia
manapun tidak akan pernah lepas dan tidak akan selamat dari kekurangan,
namun setiap makhluk bertingkat-tingkat dalam kekurangan tersebut sesuai
dengan takdirnya masing-masing, bahkan pada asalnya mereka pasti
memiliki kekurangan. Dan hal itu ditutupi dengan taubat nashuha.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.”[2]
Rasulullah Shallallahuy ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya para hamba tidak melakukan dosa niscaya Allah akan
menciptakan makhluk lain yang melakukan dosa, kemudian Allah akan
mengampuni mereka, dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”[3]
Maka marilah wahai para hamba Allah kita bersegera melakukan taubat
nashuha yang akan mensucikan ruh dari segala kotoran-kotorannya dan
membersihkan hati dari raan (karat)nya. Karena dosa-dosa adalah karat
yang melekat pada hati dan penghalang dari segala hal yang dicintai dan
berpaling dari hal-hal yang akan menjauhkan hati dari sesuatu yang
dicintai secara syara’ adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya apabila seorang mukmin melakukan dosa, maka akan terjadi
bintik hitam di dalam hatinya. Jika ia bertaubat dan melepaskan dosa
tersebut serta beristighfar, maka hatinya akan dibersihkan. Namun, jika
ia menambah dosanya, maka bintik hitam tersebut pun akan bertambah
hingga menutupi hatinya. Maka itulah yang dimaksud dengan raan (karat)
yang disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya, ‘Sekali-kali tidak demikian,
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.’
[Al-Muthaffifin: 14].”[4]
ANJURAN UNTUK MELAKUKAN TAUBAT NASHUHA
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganjurkan untuk melakukan taubat dan
beristighfar, karena hal itu lebih baik daripada gemar melakukan dosa
yang terus-menerus dilakukannya.
Allah Jalla Tsana-uhu berfirman:
"Artinya :
Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika
mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang
pedih di dunia dan di akhirat dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
seorang pelindung dan penolong pun di muka bumi." [At-Taubah: 74]
Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang juga berfirman:
"Artinya :
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun
kepada-Nya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [Al-Maa’idah:
74]
Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperbanyak
taubat dan istighfar (memohon ampunan) sehingga para Sahabat beliau
menghitung ucapan beliau dalam suatu majelis:
“Wahai Rabb-ku ampunilah aku, terimalah taubat-ku, sesungguhnya Engkau
Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” Sebanyak seratus kali.[5]
Demikian pula para Nabi dan Rasul-Rasul Allah, mereka senantiasa
menganjurkan kaum-kaum mereka untuk bertaubat. Allah Ta’ala berfirman
melalui lisan Nabi Shalih :
"Artinya :
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata,
'Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagimu
ilah selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertaubatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (do’a hamba-Nya)." [Huud: 61]
Semoga Allah merahmati al-Qurthubi rahimahullah yang dalam kitab
Tafsiirnya (V/92) telah menganggap baik perkataan Muhammad al-Waraq yang
mengatakan:
Berikanlah taubat yang diharapkan untuk jiwamu, sebelum kematian dan
sebelum lisan-lisan dibelenggu. Bersegeralah menutup jiwa dengan taubat
karena sesungguhnya, taubat adalah simpanan dan harta berharga bagi
orang yang ingin kembali lagi berbuat kebaikan.
[Disalin dari kitab at-Taubah an-Nashuuh fii Dhau-il Qur'aan al-Kariim
wal Ahaadiits ash-Shahiihah yang ditulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied
al-Hilali hafizhahullaah. Edisi Indonesia Luasnya Ampunan Allah,
Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir]
__________
Foote Note
1. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, hal. 92, dan Mus-lim,
(XVII/24-An-Nawawi) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu
2. HR. At-Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251), Ahmad
(III/198), al-Hakim (IV/244), dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dan
dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no.
4391).
3. HR. Al-Hakim (IV/246), Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah
(VII/204), dan dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 967).
4. HR. At-Tirmidzi (no. 3334), Ibnu Majah (no. 4244), Ahmad
(II/297), Ibnu Hibban (no. 2448-Mawaarid), dan al-Hakim (II/517) dari
hadits Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan dinyatakan shahih oleh beliau
dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dihasankan oleh al-Albani dalam kitab
Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 1666).
5. HR. At-Tirmidzi (no. 3434) dan Ahmad (II/21) dari hadits Ibnu
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 556).
Istilah Taubatan Nasuha mungkin jarang kita dengar. Istilah
yg lebih sering kita dengar dan lebih sering diutarakan, baik oleh para
ustadz, ulama, ataupun di masyarakat adalah taubat atau tobat. Makna
keduanya, sekilas sama, namun istilah taubatan nasuha merupakan istilah
yg lebih ‘tepat’ dan akan dibahas di artikel ini.
Terma dari akar kata “t-w-b” dalam bahasa Arab menunjukkan
pengertian: pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT
berarti pulang dan kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya.
Definisi ini diutarakan oleh Yusuf Qardhawi, salah seorang ulama besar
asal Mesir.
Sementara istilah Taubatan Nasuha, berasal dari Al Qur’an, At Tahrim(66):8,
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.”
Pengertian murni dalam bertaubat adalah benar2 dilakukan
karena ingin kembali ke jalan-Nya. Dia menyesali perbuatan buruknya di
masa lalu serta berjanji untuk TIDAK MELAKUKANNYA / MENGULANGINYA di
kemudian hari. Hasilnya adalah ALLOH SWT akan menghapus kesalahan2 yg
pernah dilakukannya. Dalam satu referensi, aku dapatkan pernyataan dari
Al Kulabi, yg menyatakan bahwa taubatan nasuha dilakukan dengan meminta
ampunan dengan lidah, menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya
untuk tidak melakukannnya lagi.
Dengan demikian, taubat nasuha HARUSLAH HASIL KOORDINASI
LIDAH, HATI DAN TUBUH. Bisa dikatakan, taubat nasuha MIRIP dengan iman,
diyakini dg hati, diucapkan dg lisan, dan dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Taubat nasuha merupakan solusi dari ALLOH SWT kepada
hamba2Nya yg pernah berbuat kesalahan (dosa) dan kemudian menyadarinya,
serta ingin kembali ke jalan yg benar. Hal ini dikarenakan tidak ada
manusia yg tidak pernah berbuat kesalahan. Manusia bukanlah malaikat, yg
selalu bersih, tanpa noda…karena setan, selaku musuh manusia, akan
selalu menggoda manusia ke dalam perbuatan maksiat dan melanggar aturan
ALLOH SWT, hingga akhir jaman.
Hinakah orang yg berbuat salah kemudian menyadari
kesalahannya dan ingin kembali ke sisi ALLOH SWT? Sesungguhnya tidaklah
hina orang yg bertaubat, karena ALLOH SWT sendiri menyukai orang2 yg
bertaubat, sebagaimana tercantum di Al Baqarah(2):222,“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.“
Hal ini wajar jika ALLOH SWT menyukai orang2 yg bertaubat,
karena ALLOH SWT sendiri SUKA MENERIMA TOBAT, Al Baqarah(2):160,“kecuali
mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan
(kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah
Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.“
Ada juga orang yg mengaku bertobat, tapi kembali
berulangkali melakukan kesalahan yg sama. Aku jadi teringat ceramah
Zainudin MZ, yg menyatakan orang yg demikian tobatnya adalah tobat
sambal. Ngaku tobat (kapok) makan sambal, tapi di kesempatan lain akan
mencoba lagi makan sambal…dan saat pedas dirasa, dia tobat lagi, tapi
makan lagi sambal, demikian seterusnya… Dengan demikian, taubat nasuha
ialah taubat yang mengandungi ciri-ciri berikut:
1. Menyesal di atas dosa/maksiat yang dilakukan. Untuk
dosa/perbuatan maksiat yg ‘biasa’, dilakukan dg memohon ampunan kepada
ALLOH SWT. Sedangkan jika kesalahan dilakukan kepada sesama manusia,
maka hendaklah dia meminta maaf kepadanya serta mengembalikan hak yg dia
rampas (jika ada).
2. Berniat (dg sungguh2) tidak akan mengulanginya lagi.
3. Memohon taubat kepada ALLOH SWT.
4. Menghapus’ kesalahan masa lalu dg banyak beramal soleh.
Mudah2an artikel ini berguna….
Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT
oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi
Unsur-unsur Taubat
Terma dari akar kata "t-w-b" dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian:
pulang dan kembali. Sedangkan taubat kepada Allah SWT berarti pulang dan
kembali ke haribaan-Nya serta tetap di pintu-Nya.
Karena pada dasarnya manusia harus bersama Allah SWT dan selalu
berhubungan dengan-Nya, dan tidak menjauhi-Nya. Manusia tidak dapat
membebaskan diri dari Allah SWT untuk memikirkan kehidupan fisiknya
saja, juga tidak dapat membebaskan dirinya dari Allah SWT karena
memikirkan kebutuhan hidup ruhaninya saja. Bahkan kebutuhannya kepada
Allah SWT di akhirat akan lebih besar dari kebutuhannya di dunia. Karena
kehidupan dan kebutuhan fisik itu secara bersamaan juga dilakukan oleh
binatang yang tidak dapat berpikir, sementara kebutuhnan ruhani adalah
sisi yang menjadi ciri pembeda manusia dari hewan dan binatang.
Allah SWT telah menciptakan manusia dari dua unsur. Di dalam tubuhnya
terdapat unsur tanah, juga unsur ruh. Inilah yang menjadikannya layak
dijadikan objek sujud oleh malaikat sebagai penghormatan dan pemuliaan
kedudukannya. Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku
akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Ku sempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya." QS. Shaad: 71-72..
Allah SWT tidak memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam
kecuali setelah Allah SWT memperbagus bentuknya dan meniupkan ruh ke
dalam tubuhnya.
Ketika manusia ta'at kepada Rabbnya berarti tiupan ruh itu mengalahkan
sisi tanahnya. Atau dengan kata lain, sisi ruhani mengalahkan sisi
materi. Dan sisi Rabbani mengalahkan sisi tanah yang rendah. Maka
manusia meningkat dan mendekat kepada Rabbnya, sesuai dengan usahanya
untuk meningkatkan sisi ruhaninya ini.
Ketika manusia berbuat maksiat terhadap Rabbnya, maka posisi itu
terbalik; sisi tanah mengalahkan sisi ruh, dan sisi materi yang rendah
mengalahkan sisi Rabbani yang tinggi. Maka manusia merendah dan menjadi
lebih hina, serta menjauh dari Allah SWT sesuai dengan seberapa jauh
dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan.
Kemudian taubat memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai apa yang
tidak ia dapatkan, serta meluruskan kembali perjalanan hidupnya. Maka
manusia itupun kembali menaik setelah kejatuhannya, dan mendekat kepada
Rabbnya setelah ia menjauhi-Nya, serta kembali kepada-Nya setelah
memberontak dari-Nya.
Taubat Nasuha
Taubat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah
taubat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." QS. at-Tahrim: 8
Kemudian apa makna taubat nasuha itu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah,
taubat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus
keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian
jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus keburukan-keburukan yang
dilakukannya."
Sedangkan nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti
kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan
shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna: bersih. Dikatakan
dalam bahasa Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu murni, tidak
mengandung campuran. Sedangkan kesungguhan dalam bertaubat adalah
seperti kesungguhan dalam beribadah. Dan dalam bermusyawarah, an-nush
itu bermakna: membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan,
dan menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An nush-h (asli)
adalah lawan kata al-gisysy-(palsu).
Pendapat kalangan salaf berbeda-beda dalam mendefinisikan hakikat taubat
nasuha itu. Hingga Imam Al Qurthubi dalam tafsinrya menyebut ada dua
puluh tiga pendapat. (Lihat: Tafsir al Qurthubi ayat ke delapan dari
surah at Tahrim). Namun sebenarnya pengertian aslinya hanyalah satu,
tetapi masing-masing orang mengungkapkan kondisi masing-masing, atau
juga dengan melihat suatu unsur atau lainnya.
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu
Mas'ud serta Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian taubat nasuha: adalah
seseorang yang bertaubat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu
lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan. Ahmad meriwayatkan
dari Ibnu Mas'ud dengan marfu': taubat dari dosa adalah: ia bertaubat
darinya (suatu dosa itu) kemudian ia tidak mengulanginya lagi." Sanadnya
adalah dha'if. Dan mauquf lebih tepat, seperti dikatakan oleh Ibnu
Katsir.
Hasan Al Bashri berkata: taubat adalah jika seorang hamba menyesal akan
perbuatannya pada masa lalu, serta berjanji untuk tidak mengulanginya.
Al Kulabi berkata: Yaitu agar meminta ampunan dengan lidah, menyesal
dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak melakukannnya lagi.
Sa'id bin Musayyab berkata: taubat nasuha adalah: agar engkau menasihati diri kalian sendiri.
Kelompok pertama menjadikan kata nasuha itu dengan makna maf'ul (objek)
yaitu orang yang taubat itu bersih dan tidak tercemari kotoran. Maknanya
adalah, ia dibersihkan, seperti kata raquubah dan haluubah yang berarti
dikendarai dan diperah. Atau juga dengan makna fa'il (subjek), yang
bermakna: yang menasihati, seperti khaalisah dan shaadiqah.
Muhammad bin Ka'b al Qurazhi berkata: taubat itu diungkapkan oleh empat
hal: beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam
hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta meninggalkan rekan-rekan
yang buruk. (Madaarij Saalikiin : 1/ 309, 310. Cetakan As Sunnah Al
Muhammadiyyah, dengan tahqiq Syaikh Muhammad Hamid al Faqi. Dan tafsir
Ibnu Katsir : 4/ 391, 392).
Sekadar Bicara Taubat dengan Lidah Bukan Taubat
Taubat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti dipahami oleh
kalangan awam. Ketika salah seorang dari mereka datang kepada seorang
tokoh agama ia berkata kepadanya: "Pak kiyai, berilah taubat kepada
saya". Kiyai itu akan menjawab: "ikutilah perkataanku ini!": "aku taubat
kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah
aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi
selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama
Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat!.
Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam
itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan dengan
lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu,
alangkah mudahnya taubat itu.
Taubat adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam
dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya
dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta
ampunan kepada Allah SWT. Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan
taubat dengan lisan --tanpa janji dalam hati-- itu adalah taubat para
pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri. Itulah yang
dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah al 'Adawiyah: "istighfar kita
membutuhkan istighfar lagi!" Hingga sebagian mereka ada yang berkata:
"aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku: 'aku beristighfar
kepada Allah SWT'". Atau taubat yang hanya dengan lisan, tidak disertai
dengan penyesalan dalam hati!
Sementara hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh
sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati,
dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, al Hasan berkata: "ia
adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan
perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan
perbuatan dosa itu lagi."
Taubat Seperti Dijelaskan oleh Al Ghazali
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya
ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal
dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan
ketiga amal.
Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua
mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan)
Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan
ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia
telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu
akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena
kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya
yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu
diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya
itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan
penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam
hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong
timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa
yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia
lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan
terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa
yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa.
Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan
sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini.
Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena
iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan.
Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya
serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar
akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan.
Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena
dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang
diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya
itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat
yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya
cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya
untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat
ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu
mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara
keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan
makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan,
sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi
dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : "
Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits
Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits
Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan
Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan
serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa
sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua
cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya." (Ihya Ulumuddin
(4: 3,4), cetakan: Darul Ma'rifah, Beirut).
Penjelasan Tentang Unsur-unsur yang Menciptakan Hakikat Taubat
Dari penuturan Al Gazhali dan ulama lainnya dapat ditarik pengertian:
bahwa hakikat taubat yang diperintahkan Allah SWT bagi seluruh kaum
mu'minin agar mereka beruntung, serta memerintahkan agar mereka
bertaubat dengan taubat nasuha, terdiri dari beberapa unsur dan faktor
yang tiga itu: tersusun secara berurutan satu sama lain. Seperti
dijelaskan oleh Al Ghazali.
1. Unsur pengetahuan dalam taubat
Unsur atau faktor pertama dari unsur-unsur itu adalah unsur pengetahuan.
Yang tampak dalam pengetahuan manusia akan kesalahannya dan dosanya
ketika ia melakukan kemaksiatan kepada Rabbnya, serta matanya terbuka
sehingga ia dapat melihat kesalahannya itu, melepaskan sumbatan dari
telinganya sehingga ia dapat mendengar, dan mengusir kegelapan dari
akalnya sehingga ia dapat berpikir, dalam setiap kesempatan kembalinya
diri kepada fithrahnya. Saat itu ia akan mengetahui keagungan Rabbnya,
kemuliaan maqam-Nya dan kebesaran hak-Nya. Juga mengetahui kekurangan
dirinya, mengapa ia mengikuti syaitan, serta kerugiannya yang jelas di
dunia dan akhirat jika ia terus berjalan mengikuti perilaku Iblis dan
tentaranya.
Saat itu, manusia butuh untuk memusatkan pikirannya, menggunakan
akalnya, serta merenungi dengan dalam tentang dirinya dan apa yang
berada di sekelilingnya, nilai-nilai yang ia miliki, perjalanan dirinya,
akhir perjalanannya kemana, makna kehidupannya, kematian dan apa
setelah kematiannya, tentang ni'mat Allah yang demikian besar baginya,
sikapnya terhadap ni'mat-ni'mat itu, tentang ni'mat Allah yang terus
turun kepadanya, dan kejahatan dirinya akan dilaporkan kepada Allah.
Allah SWT akan menghidupkan cintanya dengan memberikan ni'mat kepadaanya
walaupun Allah SWT tidak butuh kepadanya. Ia mendorong kemarahan Allah
dengan melakukan maksiat, sedangkan ia adalah orang yang amat
membutuhkan Allah, dan Allah tidak menutup pintu-Nya bagi
hamba-hambaNya, meskipun mereka telah melampaui batas terhdap diri
mereka sendiri, dan Allah terus memanggil mereka:
"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya". (QS. az-Zumar: 53)
Kesadaran jiwa adalah pangkal pertama bagi bangunan taubat. Dialah yang
akan mendorong hati untuk menyesal, kemudian bertekad untuk meninggalkan
dosa itu, lidahnya beristihgfar, kemudian tubuhnya mencegah dari
melakukan dosa itu.
Inilah yang diperingatkan oleh Al Quran dalam firman Allah SWT:
"Dan orang -orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an
itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya" (QS. al Hajj: 54.). Dengan runtutan ini yang ditunjukkan oleh
hurup sambung "fa".
Yang pertama adalah pengetahuan, yang dengannya manusia mengetahui bahwa
kebenaran adalah dari Rabb mereka. Dan itu akan menyebabkan mereka
mengimaninya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah petunjuk dan
pemimpin keimanan. Kemudian keimanan itu akan mengantarkan pada
ketundukan dan khusyunya hati.
Allah SWT berfirman tentang sifat kaum muttaqin:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui". (QS. Ali Imran: 135)
Mereka itu menyebut Allah, dan meminta ampunan dari dosa mereka
kepadaNya. Istighfar itu terjadi akibat dzikir atau mengingat Allah SWT.
Dan dzikir di sini adalah suatu macam pengetahuan. Karena yang dimaksud
di sini bukan dzikir dengan lidah, seperti disangka orang. Namun ia
adalah kebalikan dari lupa dan kealpaan. Dan ia adalah bagian dari
macam-macam pengetahuan. Seperti firman Allah SWT:
"Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa." (QS. al Kahfi: 24)
Ilmu pengetahuan dalam Islam didahulukan dari keadaan jiwa dan perbuatan
tubuh. Oleh karena itu, tidak aneh jika ayat yang pertama diturunkan
dalam Al Quran adalah:
"Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang telah menciptakan." (QS. al 'Alaq: 1)
dan membaca adalah kunci ilmu pengetahuan.
Imam Al Bukhari berkata dalam shahihnya: bab: "Ilmu sebelum beramal". Ia berdalil dengan firman Allah SWT:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang Mu'min, laki-laki dan perempuan". (QS. Muhammad: 19)
Maka di sini didahulukan perintah untuk berilmu dari perintah untuk beristighfar.
Al Qusyairi berkata dalam kitabnya "Risalah Qusyairiah": taubat yang
pertama adalah: bangunnya hati dari kelalaian, serta sang hamba melihat
kondisi yang buruk akibat dosa yang ia poerbuat. Dan itu akan
mendorongnya untuk mengikuti dorongan hati nuraninya agar tidak
melanggar perintah Allah SWT. Karena dalam khabar disebutkan: "penasehat
dari Allah SWT terdapat dalam hati setiap orang muslim". (Hadits
diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nuwas bin Sam'an). Dan dalam khabar:
"Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka
baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh,
ketahuilah itulah hati". (Hadits muttafaq alaih dari Nu'man bin Basyir).
Jika hatinya merenungkan keburukan perbuatannya, serta ia menyadari
dosa-dosa yang ia perbuat itu, niscaya daam hatinya akan terdetik
keinginan untuk bertaubat, dana menjauhkan diri dari melakukan
tindakan-tindakan yang buruk itu. Kemudian Allah SWT akan membantunya
dengan menguatkan tekadnya itu, melakukan tindakan koreksional atas
dosa-dosanya, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dalam
bertaubat. (Risalah Qusyairiah dengan tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, dan
Dr. Mahmud bin Syarif, (juz 1/ 254, 255))
2. Unsur Hati dan Keinginan
Unsur kedua dalam taubat adalah: unsur jiwa, yang berhubungan dengan
hati dan keinginan diri. Atau dengna kata lain: emosi dan inklinasi.
Dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan.
a. Menyesal dengan sangat
Yang berkaitan dengan masa lalu adalah apa ang kita kenal dengan
penyesalan. Tentang ini terdapat hadits: "penyesalan adalah taubat".
Karena ia adalah bagian yang paling penting dari taubat. Seperti dalam
hadits "Hajji adalah Arafah". Karena ia adalah rukun yang paling penting
dalam hajji itu. al Qusyairi mengutip dari beberapa ulama: penyesalan
itu cukup untuk mewujudkan taubat. Karena penyesalan itu akan
menghantarkan kepada dua rukun lainnya, yaitu tekad dan meninggalkan
perbuatan dosa. Adalah mustahil jika ada seseorang yang menyesali
tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan kembali.
Penyesalan adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk
penyesalan dalam diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan
terhadap Rabbnya, terhadap makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri.
Ini adalah penyeslan yang mirip dengan api yang membakar hati dengan
sangat. Malah ia akan merasakannya seperti dipanggang ketika ia
mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya atasnya. Itu
adalah kondisi "terbakar di dalam" yang diungkapkan oleh sebagian kaum
sufi ketika mereka mendefinisikan taubat: melelehkan lemak (yang
terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah
api hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.
Al Quran telah mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang
melakukan taubat, dengan deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah
tiga sahabat yang absen dari mengikuti perang yang besar bersama
Rasulullah Saw, yaitu perang Tabuk. Yang merupakan peperangan pertama
Rasulullah Saw dengan negara yagn paling kuat di dunia saat itu: negara
Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong seperti kaum munafik,
maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk mengucilkan mereka. Kemudian
mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan sangat, dan dilukiskan oleh
Al Quran sebagai berikut:
"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka,
hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu
luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang". (QS. at-Taubah: 118)
Oleh karena itu Dzun-Nun al Mishri berkata: hakikat taubat adalah:
engkau merasakan bumi yuang luas ini menjadi sempit karena dosamu,
hingga engkau tidak dapat lari darinya, kemudian kesempitan itu engkau
rasakan dalam dirimu. Seperti diungkapkan oleh al Quran: "dan jiwa
merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka".
Di antara bentuk penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari
pertanggungjawaban dosa itu, serta meminta ampunan dan maghfirah dari
Allah SWT.
Seperti kita temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang dilarang itu:
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. al
A'raf: 23)
Dan seperti kita temukan dalam kisah Nuh ketika ia meminta ampunan
kepada Rabbnya atas anaknya yang kafir. Dan jawaban Ilahi terhadapnya
adalah:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak
baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak
mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu
supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". (QS.
Huud: 46)
Di sini Nuh a.s. merasakan kesalahannya, dan iapun menyesalinya. Serta berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon
kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekatnya) . Dan
sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas
kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi".
(QS. Huud: 47)
Dan seperti kita lihat dalam kisah Musa, ketika beliau memukul seorang laki-laki dari Koptik dan menewaskannya:
Musa berkata: 'Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (pemusuhannya)'. (QS. al
Qashash: 15-16)
Juga kita lihat dalam kisah nabi Yunus:
"Ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak
akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan
yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang
yang zalim." (QS. al Anbiyaa: 87)
Meskipun jika kita perhatikan dosa-dosa yang diperbuat oleh para Rasul
itu adalah dosa-dosa kecil, terutama jika kita perhatikan situasi dan
kondisi terjadinya dosa itu, maka dosa-dosa itu memang ringan. Namun
para Rasul itu, karena halusnya perasaan mereka, hati mereka yang hidup,
serta perasaan mereka yang kuat akan hak Rabb mereka, maka mereka
melihat dosa itu sebagai dosa yang amat besar, mereka mengakui kesalahan
diri mereka, dan merekapun segera memohon ampunan dan maghfirah dari
Rabb mereka, karena Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
b. Tekad yang kuat
Jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah
ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan,
dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu
kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat.
Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat
darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya
selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan
setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu.
Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh
keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat
sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!
Yang terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat
dan betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan
atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir
untuk mengerjakannya kembali. Taubat itu tidak batal jika suatu saat
tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu
oleh syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan
menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak
diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT;
setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang
Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan istighfar dan diapun
mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat
dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadits
sahjih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan
dosa yang sebelumnya".
Ibnu Katsir berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap
bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits
dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya",
ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa
yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu,
maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang
telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat
menghapus dosa yang sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al
Halabi.]?.
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali
dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka
jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi
syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan
dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak
mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu
telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia
seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga
taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah
seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya
dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya
sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang
ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah
terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya
menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Satu kelompok berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia
mintakan taubatnya dahulu itu, karena taubatnya telah rusak dan batal
ketika ia mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena taubat dari dosa
adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia
masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa
kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian jika ia murtad,
dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad.
Seperti terdapat dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya
dari kejahiliyahan) maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah
diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam
Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan dosanya pada yang
pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan
telah diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling
besar terhadap keislaman seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa
yang telah ia lakukan dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan
keislaman yang pernah ia rasakan itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang
lama iu. Demikian juga dosa orang yang taubatnya ia langgar, maka dosa
yang dilakukan sebelum taubat yang ia langgar itu kembali ia tanggung.
Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan
terus dijalani, maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan
hilang ketika syarat itu lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan
kontinuitasnya dan terus dijalaninya. Mereka berkata: taubat adalah
wajib secara ketat sepanjang usia seseorang. Masanya adalah sepanjang
usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus terus ditaati
sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu adalah
seperti orang yang menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika sepanjang hari ia
menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan
perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh
puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomaits batal, dan
tidak dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa
sama sekali.
Mereka berkata: ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga,
hingga antara dirinya dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian
ketentuan takdirnya datang hingga akhirnya ia beramal dengan amal
penghuni neraka sehingga iapun masuk ke neraka itu".
Ini lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang
menghantarkan kepada neraka selamanya, atau kemaksiatan yang
menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah Saw tidak mensabdakan:
"maka ia murtad dan iapun meninggalkan Islam". Namun menghabarkan bahwa:
ia beramal dengan amal yang menghantarkannya ke neraka. Dan dalam
sebagian kitab sunan terdapat: "Ada seorang hamba yang telah melakukan
ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh tahun, dan ketika ia
menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam berwasiat maka iapun
masuk neraka".
Penutup yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau
kemaksiatan. Dan seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan kelompok kedua -- yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang
lama yang telah ia mintakan taubatnya tidak kembali ditanggungnya jika
ia melanggar taubatnya itu-- berdalil bahwa dosa itu telah terhapus
dengan taubat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya sama
sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ
setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu,
bukan dosa yang lama.
Mereka berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak
pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan
meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali
perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia
kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh
amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya
ia menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak
menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Mereka berkata: taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka
jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya
pahala-pahala itu juga terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama
sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang
karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang
yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal
yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang
melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan
mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu
adalah batil dalam Islam. Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta
keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS.
an-Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan
dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if
jiddan/lemah sekali].
Aku berkata: ia adalah orang yang setiap kali melakukan dosa ia segera
bertaubat dari dosa itu. Kalaulah mengulang dosa itu membatalkan
taubatnya niscaya ia tidak disenangi oleh Rabbnya, malah menimbulkan
kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan
istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah
SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Terus melakukan dosa adalah: membiasakan hati dan diri untuk melakukan
dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi
maghfirah dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan
kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat
atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah,
seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam
shalat. Karena ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu
tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan
bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah adalah ibadah yang beragam
sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara taubat tersendiri.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu
tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak
mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Namun, sama dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan
kemudian ia membatalkan puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah
puasa yang ia batalkan itu membatalkan pahala puasa yang telah ia
lakukan?
Contoh yang lain adalah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa , atau
yang yang menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji
(padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang
dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu itidak menghapus
kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan
dengannya.
Mereka berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas.
Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT
dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah
SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang
beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran.
Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain.
Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: "Mereka
pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali
Imran: 167]. Dan berfirman:
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)"
[QS. Yusuf: 106].
Allah SWT mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka.
Namun jika bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap
Rasul-rasul Allah maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna
lagi. Sedangkan jika mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah
Saw, sementara mereka tetap melakukan beragam tindakan musyrik, itu
tidak mengeluarkan mereka dari keimanan kepada para Rasul dan hari
kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang lebih besar daripada
pelaku dosa-dosa besar.
Kemusyrikan mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang
terang-terangan. Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang
terang-terangan tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan
taubat dari pebuatannya itu. Karena Allah SWT tidak mengampuni
kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar
masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan
keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah
bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi
dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan taubat dan amal
ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala
seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak
sedikitpun melakukan kezhaliman.
"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS. Fushilat: 46].
3. Sisi Praktis dalam Taubat
Jika dalam taubat ada sisi atau unsur pengetahuan; yang terwujudkan
dalam ilmu tentang maqam Allah SWT dan kebesaran hak-Nya atas
hamba-hamba-Nya, serta nikmat-nikmat-Nya yang banyak atas mereka pada
satu segi, dan pada segi lain pengetahuan tentang bahaya kemaksiatan dan
kesalahan serta pengaruhnya di dunia dan akhirat, serta ia akan menjadi
penghalang antara manusia dan Rabbnya, dan akan menghalangi manusia
untuk mencapai keberuntungan dan keselamatan yang dicarinya:
"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung." (QS. Ali Imran: 185)
Dalam taubat juga ada sisi atau unsur hati, emosi dan hasrat.
Terwujudkan dalam penyesalan yang membakar kayu-kayu dosa. Air mata
penyesalan yang mencuci kotoran kesalahan. Dan cahaya semangat dan tekad
yang benar untuk tidak kembali melakukan kemaksiatan yang telah ia
mintakan taubatnya, sebesar apapun godaan yang ia jumpai.
Dalam taubat juga terdapat sisi atau unsur praksis yang harus
dijalankan, hingga hakikat taubat dapat dipenuhi, serta ia dapat
memberikan hasilnya bagi jiwa dalam kehidupan.
Sisi praksis ini mempunyai dasar, dan darinya keluar dua cabang, atau barangkali beberapa cabang.
a. Meninggalkan Kemaksiatan Secepatnya
Pokoknya adalah: meninggalkan kemaksiatan secepatnya. Suatu taubat tidak
bermakna jika orang yang bertaubat itu masih tetap menjalankan
kemaksiatan yang ia sesali itu, serta tiddak meinggalknanya; karena,
kalau begitu, apa yang ia taubatkan, jadinya? Meninggalkan taubat itu
dinilai sebagai pekerjaan, karena ia menahana diri dari kemaksiatan yang
ia ingin lakukan, untuk tetap dalam ketaatan. Tidak diragukan lagi,
menahan diri ini adalah pekerjaan, gerak tubuh, serta jihad fi
sabilillah. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al
'Ankabut: 69).
b. Istighfar
Sedangkan dua cabang asal itui adalah, pertama: istighfar. Dengan
pengertian, memintah maghfirah dan ampunan dari Allah SWT. Seperti
dikatakan oleh bapak yang pertama, Adam, dan ibu yang pertama, Hawa;
setelah keduanya makan pohon yang dilarang itu:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. al A'raaf: 23)
Seluruh orang yang bertaubat amat membutuhkan untuk beristighfar,
seperti diperintahkan oleh Al Quran dan sunnah serta dijelaskan oleh
kaum salaf saleh.
Mengingat pentingnya istighfar, dan diulangnya perintah untuk istighfar
itu, serta dorongan untuk melakukannya dalam al Quran dan hadits, maka
kami akan khususkan suatu pasal tesendiri tentang hal itu.
c. Mengubah Lingkungan dan Teman
Cabang kedua adalah: merubah lingkungan masyarakat yang penuh dengan
kotoran, yang ia tempati saat ia melakukan kemaksiatan dan
penyelewengan. Kemudian mencari lingkungan yang bersih dan suci yang
bebas dari penyakit yang berbahaya. Yang kami maksud dengan
penyakit-penyakit itui adalah: penyakit kesalahan, dosa dan
penyelewengan. Dan ini lebih berbahaya dari penyakit badan, dan lebih
cepat pengaruhnya.
Jika pengaruh penyakit anggota badan berbahaya bagi seorang individu,
maka bahaya penyelewengan dan kemaksiatan mengancam individu dan
masyarakat secara bersamaan. Ia tidak hanya bahaya bagi materi yang
tangible (terindera) saja, namun juga terhadap sisi maknawi dan etika
(yang intangible). Ia tidak hanya berbahaya bagi dunia saja, namun juga
terhadap dunia dan akhirat secara bersamaan.
Ini artinya, orang yang bertaubat hendaknya meninggalkan teman-temannya
yang jahat yang mengajaknya untuk melakukan kemaksiatan dan menarik
kakinya ke arah itu. Yang membuat ia terjatuh seperti mereka. Sehingga
ia kemudian turut meminum minuman keras, berjudi, menggunakan obat bius,
memperjual belikan barang yang haram, menerima sogokan, jatuh dalam
tipu daya wanita, bekerja dengan musuh sebagai mata-mata, atau
meninggalkan shalat serta mengikuti syahwat... dan macam-macam kesalahan
lainnya. Oleh karena itu, ia harus mengganti teman-teman yang jahat itu
dengan teman-teman yang baik. Yang dengan melihat mereka saja ia akan
mengingat Allah SWT, pembicaraan mereka mengajak kepada ketaatan kepada
Allah SWT , dan perbuatan mereka menunjukkan kepada jalan Allah SWT.
Orang yang bertaubat harus meninggalkan menemani "tukang tiup api" untuk
kemudian memilih teman "tukang jual minyak wangi", seperti diajarkan
oleh pengajar yang pertama, Rasulullah Saw.
Pengaruh teman dan shabat bagi manusia amat besar, seperti diungkapkan
oleh para bijak bestari dan para penyair dari semenjak dahulu kala.
Hingga ada penyair yang berkata:
"Tentang seseorang maka janganlah tanyakan dirinya sendiri, namun
tanyakan temannya Karena setiap teman dengan temannya adalah sama. "
dan penyair lain berkata:
"Hati-hatilah dan jangan temani orang yang pencela, karena ia akan
menularkan seperti orang sehat tertularkan orang berpenyakit kusta."
Teman ada dua macam: teman yang membawa engkau menuju surga, dan teman
yang menjerumuskan engkau ke dalam neraka. Al Quran telah menceritakan
kepada kita akan bahaya teman jenis terakhir ini. Karena ia dapat
menyesatkan dan menghalangi dari jalan Allah. Dan mungkin korban-korban
mereka baru diketahui di akhirat nanti, ketika tabir kegaiban telah
dibuka, dan manusia melihat hakikat sejara jelas. Allah berfirman:
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua
tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan
bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu)
tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah
menyesatkan aku dari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang
kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia." (QS. al
Furqan: 27-29).
Oleh karena itu, kita melihat seluruh teman di dunia menjadi musuh di
akhirat. Masing-masing mencela yang lain, dan satu orang melaknat
temannya yang lain, serta mereka saling membebaskan diri dari
masing-masing. Seluruh mereka berkata kepada sahabatnya: engkaulah yang
telah menyesatkan dan membuatku sesat. Kecuali ada satu jenis teman dan
kekasih yang tetap saling mencintai, yaitu orang-orang yang taqwa, yang
takut kepada Rabb mereka, dan azab yang buruk. Allah SWT berfirman:
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian
yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (QS. az-Zukhruf: 67)
Dari sini, sebagian ahli suluk dari kalangan salaf memperingatkan untuk
mengganti sahabat. Ketika ia berkata, "taubat adalah: menyesal dengan
hati, bertekad untuk meninggalkan maksiat, meminta ampunan dengan lisan,
menjauhkan maksiat dengan badan, serta menjauhi teman-teman yang
buruk." Ini adalah pandangan pendidikan yang benar dan telah teruji.
Inilah yang telah diperingatkan oleh al Qusyairi dan ia menasehati orang
yang taubat untuk memulai dengan perbuatan ini, yaitu menjauhi
teman-teman yang buruk. Merekalah yang mendorongnya untuk menggagalkan
niatnya untuk bertaubat, serta menganggu tekadnya untuk melakukan
ketaatan. [Risalah Qusyairiah : 1/255.].
Ini diperkuat oleh hadits sahih: yaitu hadits yang berbicara tentang
orang yang telah membunuh seratus orang, kemudian ia bertanya siapa
orang yang paling pandai di dunia. Kemudian ia diberitahukan untuk
menemui seorang alim ia berkata kepadanya: bahwa ia telah membunuh
seratus orang, maka apakah ia masih mempunyai kesempatan untuk
bertaubat? Orang alim itu menjawab: ya, siapa yang yang menghalangi
orang untuk bertaubat? Pergilah engkau ke daerah ini dan ini, karena di
sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah SWT, maka beribadahlah
kepada Allah SWT bersama mereka, dan jangan engkau kembali ke kampungmu,
karena ia adalah kampung yang buruk... hadits. [Hadits itu muttafaq
alaih dari Abi Sa'id al Khudri. Disebutkan oleh al Mundziri dalam
Targhib wa Tarhib. Lihatlah : al Muntaqa (1936) dan telah disebutkan
hadits ini dengan lengkap pada halaman sebelumnya.].
d. Mengiringi Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik
Ini adalah cabang lain yang menyempurnakan dua cabang itu dan memperkuat
taubat. Yaitu: mengiringi keburukan dengan kebaikan, sehingga dapat
menghapus pengaruhnya dan membersihkan kotorannya. Inilah yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepada Abu Dzarr r.a. ketika beliau
mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang agung ini, dan bersabda:
"Bertakwalah di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk
dengan perbuatan baik niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik." [Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan
Tirmizi dari Abi Dzar. Tirmizi berkata: hadits ini hasan sahih. Dan Al
Hakim mensahihkannya atas syarat Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh
Adz Dzahabi dan Al Baihaqi dalam Asy-Syu'ab. Dan Ahmad serta Tirmizi dan
Al Baihaqi juga Thabrani meriwayatkannya pula Mu'adz. Adz Dzahabi
berkata dalam kitab Muhadz-dzab: sanadnya adalah hasan. (Al Faidl:
1/121)]
Yang dimaksud adalah: seorang muslim, jika ia melakukan maksiat,
hendaknya segera mengiringinya dengan kebaikan. Seperti shalat,
shadaqah, puasa, perbuatan yang baik, istighfar, dzikr, tasbih dan
lainnya, dari macam-macam perbuatan yang baik. Seperti firman Allah SWT :
"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk." [QS. Huud: 114]
Ibnu Arabi berkata: kebaikan akan menghapus keburukan, baik sebelumnya
atau setelahnya. Pelaksanaan kebaikan setelah keburukan itu lebih baik,
karena perbuatan itu lahir dari hati, dan berpengaruh dengannya. Maka
jika ia melakukan kebaikan, itu menunjukkan hatinya yang baik. Dan jika
ia melakukan perbuatan yang baik, itu timbul dari pilihan hati, sehingga
menghapus keburukan yang dilakukan sebelumnya. Pengertian literer sabda
beliau: 'tamhuha' "akan menghapusnya", artinya dosa itu akan lenyap
dari catatan. Ada yang berpendapat: maksudnya adalah, tidak diancam
dengan hukuman atas dosanya itu. [Lihatlah: Faidlul Qadir: 1/120]
Jika kesalahannya itu adalah membicarakan keburukan orang lain di
hadapan seesorang tertentu, maka kebaikan itu adalah memuji orang tadi
dihadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya, atau ia beristighfar
kepada Allah SWT baginya.
Jika keburukannya itu adalah mencela seseorang di hadapan manusia, maka
kebaikannya itu adalah menghormatinya, memuliakannya serta menyebutnya
dengan kebaikan.
Orang yang kejahatannya adalah membaca buku-buku yang buruk, maka
kebaikannya adalah membaca al Quran, kitab hadits serta ilmu-ilmu Islam.
Orang yang keburukannya adalah menghardik kedua orang tua, maka
kebaikannya itu adalah dengan berlaku sebaik-sebaiknya dengan keduanya
dan memuliakannya serta berbuat baik kepadanya, terutama saat mereka
dalam usia lanjut.
Orang yang keburukannya adalah memutuskan silaturahmi, serta berbuat
buruk kepada saudara, maka kebaikannya adalah berbuat baik kepada mereka
serta berusaha menjaga persaudaraan, walaupun mereka memutuskannya, dan
memberi mereka walaupun mereka belum pernah memberi.
Jika keburukannya adalah duduk dalam tempat hiburan, main-main dan
melakukan yang haram, maka kebaikannya itu adalah duduk di tempat
kebaikan, dzikr dan ilmu yang bermanfaat.
Jika keburukannya itu adalah bekerja di koran yang memusuhi Islam dan
para da'inya, maka kebaikannya itu adalah bekerja di koran yang melawan
musuh-musuh Islam itu, dengan menyebarkan berita yang jujur, serta
pendapat yang lurus.
Jika keburukannya adalah mengarang kitab yang menyesatkan, serta
mengajak kepada kemungkaran dalam perkataan dan perbuatan, menyebarakan
pemikiran yang menyesatkan serta mengajak kepada syahwat, maka
kebaikannya itu adalah mengarang kitab yang melawan kecenderungan itu,
mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma'ruf, serta
melarang dari kemunkaran.
Barang siapa yang kebaikannya adalah menyebarkan nyanyian yang
merangsang, serta mengundang nafsu yang rendah dengan segala cara, maka
kebaikannya adalah menyebarkan kebaikan, serta mengajak kepada sifat
malu dan menjaga kehormatan diri.
Barangsiapa keburukannya adalah menzhalimi manusia, memusuhi orang-orang
lemah, serta mengganggu kehormatan mereka dan hak-hak material atau
immaterial mereka, maka kebaikan mereka itu adalah berusaha menegakkan
keadilan, berlaku jujur kepada orang yang zhalim, membela orang-orang
yang lemah, dan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.
Jika keburukannya adalah bergabung dengan kelompok penguasa yang
despotis dan mendukung kebohongan mereka, serta membantu mereka
menjalankan kezaliman mereka terhadap rakyat, maka kebaikannya adalah
membantah orang-orang yang zalim itu sedapat mungkin, serta membuka
kebobrokan mereka di hadapan massa, membongkar kelakuan buruk mereka
serta korupsi yang mereka lakukan, sehingga manusia menjauh dari mereka.
Inilah kebaikan yang dapat menghapuskan dosa orang yang melakukan
keburukan semampu ia lakukan. Yaitu dengan melawannya, menghilangkan
pengaruhnya, serta membersihkan diri dari pengaruhnya. Yaitu dengan
meniti jalan yang berlawanan dari perbuatan buruk itu, seperti
dijelaskan oleh imam Al Ghazali. Karena orang yang sakit diobati dengan
lawannya penyakit itu.
Seluruh kezaliman yang naik ke hati dengan kemaksiatan, maka ia tidak
dapat dihapuskan kecuali dengan cahaya yang naik dengan perbuatan baik,
yang berlawanan dengan perbuatan buruk itu. Yang berlawanan adalah yang
berpasangan (baik-buruk). Demikianlah hendaknya, seluruh keburukan
dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, semampu mungkin. Cara
seperti ini dalam menghapus keburukan, lebih dipercaya dan lebih
diyakini dari pada secara terus menerus menjalankan suatu macam ibadah
tertentu saja, meskipun itu juga pada gilirannya akan menghapus dosanya.
Cara penghapusan dosa dengan lawannya ini, diperkuat oleh syari'ah.
Yaitu al Quran mewajibkan dalam kasus pembunuhan karena kealpaan dengan
membebaskan budak. Karena perbudakan adalah semacam kematian seseorang,
karena ia tidak mempunyai kebebasan. Dengan membebaskan budak maka
terdapat penghidupan maknawi di dalamnya. Karena manusia tidak mungkin
menghidupkan orang secara material dan langsung, maka ia dapat
menghidupkannya secara maknawi, yaitu dengan membebaskannya.
4. Agar Taubat Ditujukan Kepada Allah SWT.
Ada rukun yang dituntut untuk dipenuhi dalam taubat, meskipun banyak
orang tidak menyebutkannya, yang aku dapati diungkapkan secara implisit,
tidak secara eksplisit. Yaitu agar meninggalkan dosa, menyesal darinya,
dan bertekad untuk tidak mengulanginya, semata karena Allah SWT saja,
karena ingin mendapatkan pahala-Nya, serta takut terhadap hukuman-Nya.
Barangsiapa yang meninggalkan minum khamar semata karena dokter
melarangnya, dan takut jika hal itu akan mengancam kesehatannya,
kemudian orang itu meninggalkannya semata karena itu, maka ia tidak
dapat dimasukkan dalam kelompok orang yang taubat. Jika ia meninggalkan
perbuatan itu dengan latar belakang seperti itu, maka hal itu tidak
dianggap sebagai taubat.
Orang yang meninggalkan zina, semata karena ia terkena aids, atau takut
terkena penyakit itu, atau penyakit-penyakit kelamin lainnya, sehingga
ia takut terhadap keselamatan dirinya, kemudian ia meninggalkan zina,
maka itu bukan taubat yang sebenarnya.
Orang yang meninggalkan menggunakan obat bius, semata karena takut
ditangkap polisi dan ancaman hukuman mati, maka ia bukan orang yang
bertaubat, dan meninggalkannya itu bukan taubat.
Orang yang uangnya habis di meja judi, kemudian ia meninggalkan judi
itu, karena tidak memiliki uang lagi serta kekayaannya sudah habis, saat
itu ia tidak dapat dikatakan telah bertaubat, dan ia tidak termasuk
dalam golongan orang yang taubat.
Orang yang menghardik ayahnya, kemudian orang tuanya tidak memberikannya
harta dan warisan, dan anak itu kemudian menyesal dari sikap
membangkang terhadap orang tuanya itu, maka penyesalannya itu bukan
suatu taubat, bukan pula bagian darinya, karena ia menyesal semata
karena tidak mendapatkan dunia, bukan karena telah melakukan kemaksiatan
kepada Allah SWT.
Al Quran kita temukan berbicara tentang dua anak Adam. Ketika yang jahat
membunuh saudarnya yang baik, kemudian ia membawa-bawa mayat saudarnya
itu dalam waktu lama, dan ia tidak tahu bagaimana menguburkannya, karena
itu adalah kematian yang pertama dalam sejarah manusia:
"Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan
mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak
mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang
yang menyesal. [QS. al Maaidah: 31]
Penyesalan saudara yang jahat ini bukan dari kemaksiatannya kepada Allah
SWT, atau karena ia telah membunuh saudaranya, namun semata karena ia
membawa-bawa mayat itu dalam waktu yang cukup lama, serta ia tidak tahu
bagaimana menguburkannya, oleh karena itu penyesalannya itu tidak
berguna baginya.
Namun ketika musibah-musibah dunia dan kerugiannya menggerakan keimanan
dalam hati manusia, mendorongnya untuk membacaa ulang dirinya, dan
membuat dirinya mengingat akhiratnya, saat itu ia telah melakukan
taubat. Dan insya Allah taubatnya itu diterima.
Istighfar
Istighfar adalah: meminta ampunan. Atau menghapus dosa dan menghilangkan
bekasnya, serta menjaga dari keburukannya. Ibnu Qayyim berkata: hakikat
maghfirah adalah: menjaga keburukan dosa. Di antaranya adalah: mighfar:
yaitu alat yang menjaga kepala dari kecelakaan [Madarij Salikin juz 1 /
308]. Ampunan itu hanya diminta kepada Allah SWT saja, karena di antara
nama-Nya adalah "al Ghafuur", "al Ghaffaar", serta "Ghaafir adz Dzanb".
Dan di antara sifat-sifat Allah SWT adalah:
"Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." [QS. az-Zumar: 53]
Al Quran menyampaikan kepada kita bahwa Rasul-rasul Allah yang diutus
kepada bangsa-bangsa diprintahkan untuk beristighfar. Secara sendiri
atau bersamaan. Seperti disebutkan al Quran tentang Nuh dan dakwahnya
kepada kaumnya:
"Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
-Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun- , niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai." [QS. Nuh: 10-12]
Dan seperti Allah SWT menyebutkan tentang Huud dan dakwahnya kepada kaum Aad, yaitu ia berkata:
"Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu
bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras
atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu." [QS. Huud:
52]
Juga Nabi Shaleh yang mengajak kaum Tsamud:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain
Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (do'a hamba-Nya)." [QS. Huud: 61]
Demuikian juga Syu'aib kepada kaum Ahli Madyan:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Penyasih." [QS. Huud: 90]
Dan Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya yang penutup; Muhammad Saw:
"Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya." [QS. Fush-shilat: 6]
Istighfar yang hakiki juga mengandung taubat. Sebagaimana taubat juga
mengandung istighfar. Dan keduanya mewakili yang lain ketika disebut
secara terpisah.
Sedang jika disebutkan secara tersendiri dalam sebuah redaksi, seperti
dalaam redaksi: "Dan mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu kemudian
bertaubatlah kepada-Nya", maka istighfar di situ bermakna: meminta
perlindungan dari kejahatan akibat dosa yang telah dilakukannya.
Sedangkan taubat bermakna: kembali dan meminta perlindungan dari
kejahatan yang mungkin terjadi aqkibat perbuatan-perbuatannya yang
buruk.
Imam Ibnu Qayyim berkata: di sini ada dua dosa. Dosa yang telah lampau,
istighfar darinya bermakna: meminta perlindungan dari kejahatannya,
serta dosa yang ia takutkan akan terjadi. Sedangkan taubat darinya
bermakna: bertekad untuk tidak mengerjakannya lagi. Sedangkan kembali
kepada Allah SWT mencakup dua jenis: kembali kepada-Nya untuk menjaga
diri dari kejahatan akibat perbuatan yang telah dikerjakannya. Serta
kembali kepada-Nya untuk menjaga diri dari kejahatan dirinya serta
perbuatan buruknya di masa mendatang.
Istighfar di sini juga usaha untuk menghilangkan bahaya. Sedangkan
taubat adalah meminta manfaaat yang dapat diraih. Maghfirah adalah: agar
ia dijaga dari bahaya kejahatan dosanya. Sedangkan taubat adalah agar
setelah ia dijaga dari kejahatan itu ia mendapatkan apa yang ia senangi.
Dan keduanya mengandung yang lain jika disebut secara terpisah.
[Madaarij Salikin: 1/ 308, 309].
Kebutuhan manusia akan maghfirah Allah SWT adalah kebutuhan pokok.
Karena nikmat-nikmat Allah SWT yang dicurahkan kepadanya tidak
terhitung. Sementara kekurangannya dalam menjalankan hak Allah SWT tidak
dapat diingkari pula. Maka jika ada manusia yang berkata: aku telah
menjalankan hak Allah SWT seluruhnya, dan tidak sedikitpun aku kurang
menjalankan hak itu, maka perkataannya itu sendiri adalah sebuah dosa.
Karena itu adalah jelas-jelas kesombongan dan bangga dengan diri
sendiri. Oleh karena itu, seluruh manusia membutuhkan maghfirah. Dalam
hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan bergegaslah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi." [QS. Ali Imran: 133].
Di sini kecepatan dituntut dalam meminta maghfirah sebelum meminta surga. Ayat yang sejenis adalah firman Allah SWT:
"Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan
surga yang luasnya seluas langit dan bumi." [QS. al Hadid: 21].
Dan firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu)
kamu beriman kepada allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." [QS.
ash-Shaff: 10-12]
Keuntungan perdagangan mereka adalah maghfirah itu. Kemudian mereka dimasukkan ke dalam surga.
Dari kebutuhan manusia akan maghfirah itu, tumbuh kebutuhannya akan
istihgfar. Dan ia tidak pernah bebas dari kebutuhan ini, malam atau
siang. Seperti ia tidak dapat membebaskan dirinya dari kebutuhan akan
makanan dan minuman. Seperti difirmankan Allah SWT dalam hadits qudsi
yang terkenal yang diriwayatkan oleh Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa
Jalla:
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan dosa pada malam dan siang
hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mintalah ampunan
kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian." [Hadits diriwayatkan oleh Muslim
dari hadits Abi Dzar]
Dan sabda Rasulullah Saw:
"Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasan-Nya, seandainya kalian
tidak berbuat dosa niscaya Allah SWT akan menghapuskan kalian dari muka
bumi dan mendatangkan makhluk lain yang melakukan dosa kemudian meminta
ampunan kepada Allah SWT dan Allah SWT pun mengampuni mereka." [Hadits
diriwaytkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abi Hurairah. Sahih Jami' Shagir
(7074)]
Oleh karena itu, al Quran menyifati hamba-hamba Allah yang baik sebagai
orang-orang yang beristighfar kepada Allah SWT, terutama pada waktu
menjelang subuh, serta saat sedang jatuh dalam dosa.
Allah SWT mensifati orang yang bertakwa yang berhak mendapatkan surga dan keridhaan-Nya sebagai berikut:
"Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka
ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya. Dan (mereka dikarunia) isteri-isteri yang disucikan serta
keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu)
orang-orang yang berdo'a: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa
neraka", (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, dan tetap ta'at,
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di
waktu sahur." [QS. Ali Imran: 15-17]
Dalam surah yang sama Allah SWT membicarakan kepada kita tentang kaum
Rabbani yang sebagian mereka telah terbunuh di jalan Allah SWT. Namun
mereka tidak melemah karena mengalami kematian, serta mereka tidak
menjadi malas karenanya. Firman Allah SWT:
"Tidak ada do'a mereka sekalian ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah
dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam
urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap
kaum yang kafir [QS. Ali Imran: 147]
Sebelum mereka meminta kekuatan dan kemenangan kepada Allah SWT , mereka
meminta maghfirah dari dosa-dosa dan sikap berlebihan mereka dalam
kehidupan. Dalam hal ini mereka menuduh diri mereka sendiri dengan
perlakuan dan tindakan yang berlebihan, bukan menuduh Allah SWT bahwa
Dia mengecewakan dan tidak menolong mereka!
Dalam surah itu pula terdapat pembicaraan tentang "ulul albab", yaitu
mereka berdo'a kepada Allah SWT dengan beberapa do'a. Di antaranya
adalah:
"Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman.
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari
kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang
yang berbakti." [QS. Ali Imran: 193.]
Dalam surah yang lain, Allah SWT memuji kaum muttaqin yang berbuat baik dari sekalian wali-wali Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman
(surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan
kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di
dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur
di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada
Allah)." [QS. adz-Dzariat: 15-18].
Al Hasan berkata: mereka beramal pada malam hari, dan hanya tidur
sedikit dari malam itu, itu mereka lakukan hingga menjelang subuh, dan
pada saat itu mereka melakukan istighfar.
Alangkah anehnya! Mereka mengisi malam dengan ibadah dan shalat,
kemudian pada menjelang subuh mereka beristighfar! Seakan mereka masih
merasa kekurangan dan kesalahan diri mereka.
Ibnu Katsir berkata: terdapat dalam hadits-hadits sahih dari beberapa orang shabat dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT turun pada tiap malam ke langit dunia, hingga
sepertiga malam yang terakhir, dan berfirman: Apakah ada orang yang
meminta taubat hingga Aku berikan taubat kepadanya? Apakah ada yang
meminta ampunan hingga Aku berikan ampunan kepadanya? Apakah ada orang
yang meminta hingga aku kabulkan permintaannya? Hingga datang fajar".
Kewajiban beristighfar itu makin kuat bagi orang yang sedang jatuh dalam
kemaksiatan dan dosa. Karena siapa yang bisa menghindarkan dirinya sama
sekali dari perbuatan dosa? Di sini istighfar berfungsi sebagai
perangkat untuk menghilangkan kekurangannya, dan yang dapat mencucinya
dari kotoran dosa.
Allah SWT menyebut sifat-sifat kaum muttaqin dalam al Quran sebagai orang yang:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa
selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dan firman Allah SWT:
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya,
kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. an-Nisa: 110.].
Allah SWT memuji nabi-nabi-Nya dalam Al Qur'an dengan tindakan mereka
yang melakukan istighfar itu. Mereka adalah manusia yang paling
bersegera dalam melakukan istighfar dan yang paling senang melakukannya.
Dalam kisah Adam, nenek moyang manusia, beliau beristighfar ketika
beliau dibujuk oleh syaitan hingga beliau dan istrinya memakan pohon
yang dilarang itu. Maka beliau segera meminta istighfar dan kembali
kepada-Nya:
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." [QS. al
A'raf: 23.].
Nabi Nuh a.s, pemimpin para rasul itu meminta istighfar bagi dirinya,
kedua orang ketuanya, dan bagi semua orang yang berhak atasnya, juga
bagi kaum mu' minin dan mu'minat:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku
dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan
janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain
kebinasaan." [QS. Nuh: 28].
Dan Nabi Ibrahim a.s. berdo'a:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian
orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." [QS.
Ibrahim: 41].
"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada
Engkaulah kami bertaubat adn hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi
orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya
Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [QS. al
Mumtahanah: 4-5.].
Nabi Musa a.s. yang secara tidak sengaja membunuh seorang manusia,
sebelum beliau mendapatkan kerasulannya, segera meminta ampunan kepada
Rabbnya atas kesalahannya itu.
"Musa mendo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku
sendiri karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya,
sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.
al Qashash: 16.].
Pada kesempatan lain, beliau berdoa:
"Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu
siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang
Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan
berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya."
[QS. al A'raaf: 155].
Allah SWT berfirman dalam kisah Nabi Daud a.s:
"Dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada
Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat" [QS. Shaad: 24].
Dalam kisah Nabi Sulaiman a.s. Allah SWT berfirman:
"Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku." [QS. Shaad:
35].
Dan Nabi Muhammad Saw juga diperintahkan untuk bertaubat dalam banyak
ayat, seperti dalam firman Allah SWT dalam al Qur'an Makki ini:
"Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan
mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu
pada waktu petang dan pagi." [QS. Ghaafir: 55].
Dalam al Qur'an Madani Allah SWT memerintahkan beliau untuk beristighfar kepada-Nya, dalam firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. an-Nisa: 106].
Juga Allah SWT memerintahkan beliau untuk beristighfar bagi dirinya dan
kaum mu'minin dan mu'minat. Yaitu dalam firman Allah SWT:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan." [QS. Muhammad: 19].
Dan firman Allah SWT:
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat
manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penerima taubat." [QS. an-Nashr: 1-3].
Ini adalah bagian dari surah yang diturunkan belakangan. Atau ia
diturunkan pada penghujung kehidupan Rasulullah Saw, dan setelah
turunnya firman Allah SWT dalam surah al Fath:
"Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu." [QS. al
Fath: 2].
Dan ini diturunkan pada tahun keenam hijriah setelah terjadinya
perdamaian Hudaibiah yang terkenal itu, yang dinamakan Allah SWT sebagai
kemenangan yang nyata.
Namun demikian, Allah SWT tetap memerintahkan beliau untuk beristighfar.
Dan Rasulullah Saw adalah manusia yang paling banyak beristighfar
kepada Rabbnya. Sahabat beliau pernah menghitung, dalam satu majlis,
Rasulullah Saw lebih dari tujuh puluh kali mengucapkan: " Wahai Rabb-ku
ampunilah daku dan berilah Aku taubat".
An-Nasaai meriwayatkan dari Ibnnu Umar bahwa ia mendengar Rasulullah Saw
mengucapkan: "Aku memohon ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan
selain Dia Yang Hidup kekal dan terus menerus mengurus (makhluk-Nya).
Aku memohon taubat kepadaNya" dalam satu majlis ,sebelum bangkit
darinya, sebanyak seratus kali. Dalam satu riwayat: "kami menghitung
Rasulullah Saw dalam satu majlis mengucapkan: 'Wahai Rabb-ku ampunilah
daku dan berilah daku taubat, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi taubat
dan Maha Pengampun' sebanyak seratus kali." [Fathul Bari: 11/101, 102].
Dalam sahih Muslim dari hadits al Aghar al Muzni diriwayatkan:
"Pernah ada kelalaian untuk berdzikir dalam hatiku, dan aku beristigfar
kepada Allah SWT setiap hari sebanyak seratus kali untuk kelalaian itu
".
Dalam sahih Bukhari dari hadits Abi Hurairah r.a.:
"Demi Allah, aku beristighfar dan meminta taubat kepada Allah SWT dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali".
Ulama menafsirkan "al ghain" yang berada dalam hati Rasulullah Saw itu
adalah: suatu masa Rasulullah Saw tidak melakukan dzikir yang terus
dilakukan beliau. Dan jika Rasulullah Saw melupakannya karena suatu hal,
maka beliau menganggap itu sebagai dosa, dan beliau ber istighfar
kepada Allah SWT dari kelalaian itu.
Ada yang berpendapat: itu adalah sesuatu yang terjadi dalam hati, seperti keinginan hati yang biasa terjadi dalam diri manusia.
Ada yang berpendapat: para nabi adalah orang yang amat berusaha keras
untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Karena mereka mengtehui
hak-Nya atas mereka sehingga mereka terus bersyukur kepada Allah SWT,
dan mengakui bahwa mereka selalu kurang sempurna dalam menjalankan apa
yang diperintahkan Allah SWT kepada mereka.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin berkata: adalah Rasulullah Saw
selalu meningkat derajat beliau. Dan setiap kali beliau menaiki suatu
derajat maka beliau akan melihat derajat yang sebelumnya, dan beliau
akan ber istighfar atas derajat yang lebih rendah itu. [Fathul Bari: 11/
102, 102].
Al Muhasiby berkata: malaikat dan para nabi adalah orang yang lebih
takut kepada Allah SWT dibandingkan orang yang lebih rendah derajatnya
dari mereka. Dan takut mereka adalah sebuah takut penghormatan dan
pemuliaan. Mereka beristighfar dari kekurang sempurnaan dalam
menjalankan apa yang seharusnya, bukan karena dosa yang dilakukan.
Qadhi 'Iyadh berkata: sabda beliau: "Wahai Rabb-ku ampunilah dosaku dan
ampunilah atas apa yang aku telah dahulukan dan apa yang aku telah tunda
dapat dinilai sebagai sebuah ungkapan dari ketawadhu'an, ketundukan,
sikap merendahkan diri, dan sebagai kesyukuran kepada Rabbnya, karena
beliau tahu bahwa Allah SWT telah mengampuninya. [Fathul Bari: 11/ 198].
Terdapat hadits sahih dari Rasulullah Saw tentang bentuk redaksional
istighfar beliau yang tidak pernah digunakan oleh seorang nabi atau
Rasulupun sebelum beliau, yaitu:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, tingkah berlebihan dalam
perkaraku, serta apa yang Engkau lebih tahu dariku. Ya Allah ampunilah
keseriusan dan sikap humorku, ketidak sengajaan dan kesengajaanku, dan
seluruh perbuatan seperti itu yang ada padaku. Ya Allah, ampunilah apa
yang aku dahulukan dan apa yang aku akhirkan, serta apa yang sembunyikan
dan apa yang aku beritahukan, dan Engkau adalah Yang memajukan dan
Engkau pula Yang memundurkan, dan Engkau adalah Maha kuasa atas segala
sesuatu." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Musa.
Fathul Bari 11/ 196, 197].
Dan Rasulullah Saw bersabda: sayyidul istighfar adalah engkau mengucapkan:
"Ya Allah, Engkau Rabbku, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau telah
menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu dan aku akan terus berada dalam
jalan dan janji-Mu selama aku mampun. Aku berlindung kepada-Mu dari
kejahatan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui nikmat yang
Engkau berikan kepadaku, dan aku akui pula dosa yang telah aku perbuat,
maka ampunilah daku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain
daripada Engkau." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ad
Da'awat dari Syidad bin Aus dengan nomor: (6306)].
Syeikh Ibnu Abi Hamzah berkata: dalam hadits ini terkumpulkan keelokan
makna dan keindahan lafazh, sehingga memang ia berhak disebut sebagai
sayyidul istighfar. Di dalamnya terdapat pengakuan bagi Allah SWT atas
ke-Tuhanan-Nya, bagi diri-Nya semata, dan penyembahan kepada-Nya. Juga
pengakuan bahwa Dia adalah Sang Pencipta, pengakuan akan perjanjian yang
telah diambilnya dari Allah SWT, pengharapan akan janji yang telah
diberikan oleh Allah SWT, perlindungan dari kejahatan yang dilakukan
oleh hamba atas diirnya sendiri, penisbahan nikmat kepadaNya, sementara
menisbahkan dosa kepada dirinya sendiri, juga keinginannya untuk meminta
ampunan, serta pengakuannya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat
memberikan pengampunan itu selain Allah SWT. Seluruh sisi itu
menunjukkan penyatuan antara sisi syari'ah dengan hakikat.. Karena
kewajiban-kewajiban syari'ah terwujudkan dengan adanya pertolongan dan
bantuan Allah SWT. Inilah apa yang dikatakan sebagai hakikat. [Fathul
Bari: 11/100].
* * *
Syarat-syarat Istighfar dan Etika-etikanya
Istighfar yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi syarat-syarat dan etikanya; yaitu, antara lain:
1. Syarat yang pertama adalah: niat yang benar dan ikhlas semata
ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal
perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas semata
untuk-Nya. Allah SWT berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus"
[QS. Al Bayyinah: 5].
Dan sabda Rasulullah Saw :
"Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang
beramal mendapatkan balasan atas amalnya itu sesuai dengan apa yang
diniatkannya". Hadits muttafaq alaih.
2. Syarat kedua adalah: agar hati dan lidah secara serempak melakukan
istighfar. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata: aku beristighfar
kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat. Dari
Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan, ia berkata: "orang yang beristighfar
kepada Allah SWT dari suatu dosa sementara ia masih terus menajalankan
dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!"
Rabi'ah berkata: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika
istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati.
3. Di antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada
dalam keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling
sempurna, zhahir dan bathin. Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia
berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (dan apa yang diucapkan oleh Abu
Bakar itu adalah benar adanya) meriwayatkan kepadaku bahwa ia mendengar
Rasulullah Saw bersabsda:
"Tidak ada seseorang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci
serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT,
kecuali Allah SWT pasti mengampuninya" [Al Hafizh berkata: hadits ini
diriwaytkan oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu Hibban mensahihkannya.
Fathul Bari: 11/ 98. Sedangkan dalam Jami' Shagir dinisbahkan kepada Abi
Daud dan Tirmizi. Sementara Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if al
Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat :
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dalam hadits Abu Bakar secara marfu' dikatakan:
"Tidak ada orang yang dianggap terus melakukan dosa jika ia langsung
beristighfar dan meminta taubat, meskipun dalam satu hari ia dapat
mengulang (dosa itu) sampai tujuh puluh kali " [Dalam Fathul Bari:
Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmizi juga].
4. Di antara adab itu adalah: agar ia ber istighfar kepada Allah SWT,
dan ia berada dalam kondisi takut dan mengharap. Karena Allah SWT
menyifati diri-Nya dengan firman-Nya:
"Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya" [QS. Ghafir: 3].
Dan firman Allah SWT :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Maidah:
98].
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi
manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
sangat keras siksaan-Nya" [QS. ar-Ra'd: 6].
"Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. al Hijr: 49].
Ayat-ayat semacam ini banyak, dan seluruhnya menanamkan keseimbangan
dalam hati antara takut dan mengharap. Tidak ada yang merasa aman dari
balasan Allah SWT, kecuali mereka yang merugi. Dan tidak ada yang putus
asa dari rahmat Allah SWT kecuali orang-orang kafir.
Oleh karena itu orang yang melakukan dosa tidak seharusnya meninggalkan
istighfar, sebanyak dan sebesar apapun dosa yagn telah ia perbuat.
Karena ampunan Allah SWT lebih besar dari dosanya itu, rahmat-Nya lebih
luas, dan ampunanNya lebih besar.
Dalam hadits qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Dzar dari Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa Jalla:
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada malam dan siang
hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah
kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian ".
5. Di antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :
" Dan yang memohon ampun di waktu sahur" [QS. Ali Imran: 17].
"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" [QS. adz-Dzariaat: 18].
Dan ketika anak-anak Ya'qub berkata kepada ayah mereka: "Wahai ayah
kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Ya'qub berkata: "Aku
akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Yusuf: 97-98].
Para mufassir berkata: beliau menunda istighfar itu hingga waktu
menjelang subuh, karena pada saat itu, doa lebih dekat untuk dikabulkan,
jauh dari ria, lebih bersih bagi hati, dan ia adalah waktu tajalli
Ilahi pada sepertiga terakhir dari waktu malam.
6. Di antara adab itu adalah: istighfar dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah salam.
Rasulullah Saw telah mengajarkan Abu Bakar untuk mengucapkan sebelum
salam: "Wahai Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku
dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni
dosa-dosa selain Engkau, maka ampunilah daku dengan ampunan dari-Mu, dan
kasihilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi ampunan dan Maha
Penyayang ".
7. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan
bagi kaum mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga
Allah SWT menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan
dengan masuk dalam kelompok mereka.
Oleh karena itu kita dapati para nabi tidak hanya ber istighfar kepada
diri mereka. Namun juga bagi diri mereka, bagi kedua orang tua mereka,
serta bagi kaum mu'minin dan mu'minat seperti terdapat dalam do'a Nur
dan Ibrahim serta nabi-nabi lainnya.
Di antara do'a Nuh itu adalah:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku
dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan"
[QS. Nuuh: 28].
Dan dari do'a Ibrahim adalah:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian
orang -orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [ QS.
Ibrahim: 41].
8. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a dan ber istighfar dengan
redaksi yang disebutkan dalam al Quran dan sunnah. Karena ia adalah
redaksi yang terbaik, paling besar nilainya, paling luas maknanya serta
paling merasuk dalam hati. Berbeda halnya dengan redaksi-redaksi doa dan
wirid lain yang dibuat oleh manusia, di sana tidak ada kemanusiaan
susunan kalimat al Quran serta keindahan kata-kata yang digunakan dalam
hadits.
Dan dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu mendapatkan dua balasan:
a. Balasana doa dan istighfar.
b. Balasan mengikuti al Quran dan sunnah.
Di antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan oleh
Adam, Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di
antaranya adalah:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi" [QS. al A'raaf: 23].
"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada
Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi
orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya
Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" [QS. al
Mumtahanah: 4-5].
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum kafir " [QS. Ali Imran: 147].
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al
Hasyr: 10].
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman.
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari
kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang
yang berbakti" [QS. Ali Imran: 193].
Dan dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam. Di
antaranya adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Di antaranya adalah:
"Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahanku, kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku".
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, jauhkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan
antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahanku dengan
air, salju dan embun. Ya Allah, bersihkanlah aku dari
kesalahan-kesalahan seperti baju yang putih dibersihkan dari kotoran".
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Hurairah dan diriwayatkan oleh
Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah Rasulullah Saw berdo'a dengan
do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat, serta sebelum membaca
surah Al Fatihah.
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, luaskanlah rumahmu dan berilah
keberkahan dalam rezekiku". diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta ia
menilainya sebagai hadits hasan, dan Abu Ya'la serta periwayat yang
lain dari Abi Musa.
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah
istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap
menjalankan dosa, yang besar maupun kecil?
Para ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini: Di antara mereka ada
yang berpendapat: istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak,
meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk bertaubat. Di antara mereka ada
juga yang berkata: istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali,
hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci
ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing.
Aku adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar
yang hanya diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang
beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam
berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang amat besar
akan maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya. Ia meminta kepada Allah
SWT sebagai seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha
Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang
Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha
Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya
menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan
maksiat mereka tidak mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika
ia beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya
tidak akan sia-sia. Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang
keutamaan istighfar, ia ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara
mutlak tanpa pembatas, sehingga mencakup orang yang masih tetap
menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran lainnya, maka mengapa kita
kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil tidak terus menjalankan
maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang
dapat menghapus keburukan, apalagi jika disertai dengan permohonan yang
sangat.
Imam Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan
suatu kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada
ia melakukan ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga
lebih utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika
dibandingkan dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika
dibandingkan dengan amal hati. Oleh karena itu ada orang yang berkata
kepada syeikhnya, Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk
berdzikir dan membaca al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu
ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan
salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu
untuk berdzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau berkata yang
tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji --dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa
Dia tidak akan menyia-nyiakan amal seorang, dan balasan bagi orang yang
berbuat kebajikan. Seperti firman Allah SWT:
"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS.
an-Nisa: 40]
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia adalah amal yang baik.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi
dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar
dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah
seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang
rajihnya ia adalah hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi
[Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas
dan lafazhnya adalah:
"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak
berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih
terus melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya."
Ia berkata: yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang
beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian
pertama dari hadits itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul
Bari: 13/ 471)]
Meskipun seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat
dipahami sebagai ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu
kebiasaan saja, sambil memikirkan yang lain, serta tidak memahami
maknanya, dan tidak pula dengan merajuk dan menangis.
Seperti itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar
tanpa meninggalkan diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong!
Dan perkataan yang lain: aku ber istighfar kepada Allah SWT dari
istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa istighfarnya itu semata dengan
ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan gerakan hati yang merupakan
rekan dalam amal itu.
Sedangkan perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada
istighfar lagi yang banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan
lidah yang sedang berdzikir kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang
lalai. Dan kelalaian hati seperti itu butuh kepada istighfar lagi dari
kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan lidahnya. Dengan demikian,
orang yang berdiam saja, tidak ber istighfar dengan lidahnya, dengan
demikian membutuhkan dua macam istighfar, bukan hanya satu istighfar!
Seperti inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan
orang yang mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan
ini: "kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin!
Karena ini adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami
secara sederhana. Oleh karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan
ketaatan dan perbuatan buruk yang amat kecil sekalipun.
Imam Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
1. Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya, oleh karena
itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil apapun, karena barangkali
di situ terletak ridha Allah SWT.
2. Menyembunyikan kemarahan-Nya dari kemaksiatan terhadap-Nya, oleh
karena itu janganlah engkau menganggap ringan suatu kemaksiatan sekecil
apapun, karena barangkali di situ terletak kemarahan-Nya. Dan
3. Dia menyembunyikan wali-Nya dari sekalian hamba-hamba-Nya, oleh
karena itu janganlah engkau menganggap rendah seorang hamba Allah SWT ,
karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala
keadaan pasti membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki
keadaannya, yaitu dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu
yang diputuskan dan ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada
Allah SWT, hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku
itu". Dan jika ia telah membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia
berkata: "wahai Rabbku ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan
taubat hendaknlah ia berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan
dari melakukan kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan
hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: janganlah engkau
menghina ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak
mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau
tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal
benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu
jam, dan ia berkata: apa manfaatnya satu benang itu? dan kapan akan
dapat menghasilkan satu baju? Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di
dunia ini diciptakan dari satu-benang dengan benang lainnya, dan seluruh
dunia yang luas ini di susun dari atom-atom kecil, maka berdo'a dengan
menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan
sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab Taubat, dikutip
dengan ringkas.]
Disebutkan dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata:
jangan engkau katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku
bertaubat kepadaNya". Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak
benar-benar menjalankannya. Namun katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah
daku dan berilah hamba taubat". An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan
ia tidak senang mengatakan "aku ber istighfar kepada Allah SWT " dan ia
menamakannya sebagai kebohongan, an Nawawi tidak setuju dengan itu.
Karena makna "astaghfirullah" adalah aku memohon ampunan-Nya, dan itu
bukanlah kebohongan. Ia berkata: untuk menolak pendapat itu cukup dengan
hadits Ibnu Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang
tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur
(makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepadanya: niscaya diampunkan segenap
dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan diri dari medan perang".
Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi serta disahihkan oleh
Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam lafazh "Aku
meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup
kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata "aku
bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa itu
adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia
tidak menjalankan taubat itu".
Dalam berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti
kembali, karena dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan
taubat dan mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi'
ingin menggabungkan dua lafazh, tidak sekadar kata "astaghfirullah"
sehingga seluruh perkataannya adalah benar. Wallahu a'lam.
Al Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin
as-Subki sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan
lidah, atau dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama
itu akan mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam,
dan ia dapat dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat
baik sekali, dan yang ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak
menghapus dosa hingga terdapat taubat yang sebenarnya. Karena orang yang
berbuat maksiat dan tidak juga meninggalkannya itu meminta diampuni,
dan itu tidak harus ada taubat dalam dirinya. Hingga ia berkata: yang
aku katakan bahwa makna istighfar adalah berlainan dengan makna taubat,
adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional. Namun menurut banyak
ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat. Jika ada
orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan
taubat. Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan
bahwa taubat tidak sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil
firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/ 472]
Kesempurnaan Taubat dan Kontinuitasnya.
Imam al Ghazali berkata:
Telah kami katakan sebelumnya bahwa taubat adalah suatu penyesalan yang
membawa kepada tekad dan keinginan kuat untuk tidak melakukan dosa lagi.
Dan penyesalan itu dihasilkan oleh ilmu atau pengetahuan bahwa
kemaksiatan yang ia lakukan itu menjadi penghalang antara dia dengan
yang dicintainya. Dan seluruh pengetahuan, penyesalan dan tekad itu
harus terus dipertahankan dan dengan sempurna pula. Tentang kesempurnaan
dan kontinuitasnya itu ada tanda-tandanya. Oleh karena itu harus
dijelaskan.
Sedangkan ilmu pengatahuan itu, didapatkan dengan memperhatikan sebab taubat yang akan kami jelaskan nanti.
Penyesalan adalah sesuatu yang menyakitkan hati ketika menyadari
kehilangan yang ia senangi. Tanda-tandanya adalah terus merasa menyesal
dan sedih, air mata berlinang dan terus menangis dan merenung. Jika
suatu ketika ia mendengar vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada
anaknya atau salah seorang yang ia cintai, niscaya ia akan merasakan
kepedihan dan tangis yang mendalam. Kemudian, siapa lagi yang lebih ia
cintai selain dirinya sendiri? Dan hukuman apa lagi yang lebih berat
dari neraka? Tanda apa lagi yang lebih menunjukkan akan turunnya hukuman
itu selain kemaksiatan yang ia lakukan? Serta siapa lagi yang lebih
benar dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam memberikan berita? Jika seorang
dokter memberitahukannya: bahwa penyakit anaknya adalah penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, dan ia akan mati karena sakitnya itu, tentunya
ia akan segera merasakan kesedihan yang sangat. Walaupun anaknya itu
tidak ia cintai lebih dari dirinya sendiri. Dan tidak ada dokter yang
lebih tahu dan ahli dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Serta kematianpun
tidak lebih pedih dari neraka. Juga sakit itu tidak lebih valid
menunjukkan akan kematian daripada kemaksiatan yang menunjukkan akan
kemurkaan Allah SWT, dan yang akan menyeretnya ke neraka. Penyesalan
itu, selama dirasakan lebih keras, maka dosanya itu lebih mempunyai
harapan untuk diampuni. Tanda kesungguhan penyesalan itu adalah: hati
yang menjadi peka, serta air mata yang deras mengalir. Dalam atsar
disebutkan:
"Bertemanlah dengan orang-orang yang suka bertaubat, karena mereka mempunyai hati yang paling halus".
Dan di antara tanda-tandanya adalah: kepedihan dosa itu menempati
perasaan kenikmatan melaksanakan dosa dalam hati. Sehingga kecenderungan
untuk bermaksiat itu akan menjadi kebencian terhadapnya, serta
keinginan itu menjadi penghindaran. Dalam Israiliat dikatakan: bahwa
Allah SWT berfirman kepada sebagian nabi-Nya. Ia meminta kepada Allah
SWT untuk mengabulkan taubat seorang hamba, setelah ia selama beberapa
tahun beribadah dengan khusyu', namun taubatnya tak kunjung diterima.
Dan Allah SWT berfirman: "demi kemuliaan dan keagungan-Ku, meskipun
seluruh penghuni langit dan bumi meminta agar Aku terima taubatnya,
niscaya tidak akan Aku penuhi, selama perasaan kenikmatan melakukan dosa
dalam hatinya masih bersemayam." Sedangkan keinginan yang timbul
darinya itu, adalah keinginan untuk menebus apa yang telah ia langgar.
Dan ia mempunyai hubungan dengan keadaan saat ini, yaitu ia harus
meninggalkan seluruhnya apa yang dilarang yang masih ia lakukan, serta
melakukan seluruh kewajiban yang menjadi kewajibannya, secepatnya. Ia
juga mempunyai kaitan dengan masa lalu, yaitu menebus apa yang telah ia
langgar. Sedangkan bagi masa depannya, ia harus dalam ketaatan, serta
selalu meninggalkan kemaksiatan hingga akhir hayatnya.
* * *
Menyelesaikan Hak-hak Allah SWT.
Syarat keabsahan taubat yang berkaitan dengan masa lalu adalah: agar ia
melayangkan padangannya kembali ke masa lalunya, pada hari pertama ia
mencapai usia baligh, kemudian ia meneliti masa-masa lalu dari usianya
itu tahun pertahun, bulan perbulan, hari perhari dan setiap tarikan
nafas yang telah ia lakukan. Kemudain ia melihat ketaatan yang menjadi
kewajibannya: apa yang tidak ia kerjakan? Kemudian kepada kemaksiatan:
apa yang telah ia lakukan dari kemaksiatan itu?
Jika ia pernah meninggalkan shalat atau tidak melengkapi suatu syarat
keabsahan shalat itu, hendaklah ia mengqadha shalatnya itu. Dan jika ia
ragu bilangan shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung
dari masa balighnya, kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan,
dan mengqadha sisa shalat yang pernah ia tinggalkan. Dalam hal ini
hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya. Dan itu dapat dicapai dengan
betul-betul meneliti dengan serius.
Sedangkan puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan
atau saat ia sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya karena
mengalami haidh (atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia
menghitung jumlah yang telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul,
kemudian mengqadhanya. Tentang zakat, hendaknya ia menghitung seluruh
hartanya dan bilangan tahun dia mulai memiliki harta itu -- tidak dari
masa balighnya, karena zakat itu telah wajib semenjak dimilikinya harta
itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi [Ini adalah pendapat jumhur
imam-imam dan ini pula yang aku rajihkan dalam kitabku: Fiqhu Zakat.] --
kemudian ia menunaikan apa yang ia yakini sebagai kewajibannya.
Sedangkan masalah hajji, jika ia pernah memiliki kemampuan untuk
menunaikan hajji itu dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia
tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang
cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya. Jika ia tidak mampu karena
hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha
yang halal sekadar biaya hajji itu. Jika ia tidak memiliki pekerjaan,
juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan
jatah dari zakat atau shadaqah sehingga ia dapat menunaikan hajji. Dan
jika ia mati sebelum melaksanakan hajji maka ia mati dalam keadaan
maksiat. Karena ketidak mampuan yang datang setelah adanya kemampuan
untuk hajji itu, tidak menghapus kewajiban hajji baginya. Inilah cara ia
meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya.
Tentang kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan
apa yang dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya,
tangannya, kakinya, kemaluannya, dan seluruh anggota badannya. Kemudian
ia teliti seluruh jam dan waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia
menguraikan secara terperinci kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik
yang kecil maupun yang besar.
Kemudian di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya
kembali; jika kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan
Allah SWT saja serta tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia,
seperti melihat wanita bukan mahram, duduk di masjid dalam keadaan
junub, menyentuh mushaf tidak dengan wudhu, beri'tiqad dengan i'tiqad
bid'ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan yang buruk dan lainnya
yang tidak berkaitan dengan kezhaliman kepada manusia;
Taubat untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas
perbuatannya itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang
telah ia lakukan, kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu
suatu kebaikan yang setarap dengannya. Dan ia melakukan kebaikan itu
sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang telah ia lakukan. Berdasarkan
sabda Rasulullah Saw :
"Bertaqwalah kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah
perbuatan buruk (dosa) dengan perbuatan yang baik niscaya ia akan
menghapusnya" [Hadits diriwaytkan oleh Tirmizi dari Abi Dzar dan ia
mensahihkannya dan sebelumnya hadits ini telah disebut.]
Juga firman Allah SWT :
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)perbuatan-perbuatan yang buruk"[QS. Huud: 114.].
Dosa mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan
al Qur'an dan majlis dzikir. Dosa duduk di mesjid dalam keadaan junub
dihapuskan dengan beri'tikaf di dalamnya sambil beribadah. Dosa
menyentuh mushaf dengn tanpa wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan
banyak membacanya. Juga dengan menulis mushaf dan memberikan wakaf
mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan bersadaqah dengan minuman
yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Menyebutkan seluruh kemaksiatan adalah tidak mungkin di sini. Namun yang
dimaksud adalah mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu.
Karena suatu sakit diobati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang
bercokol dalam hati karena kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat
dihapus kecuali oleh cahaya yang naik ke hati itu dengan kebaikan yang
sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah lawan yang sejajar keburukan
itu. Oleh karena itu, setiap keburukan harus dihapuskan dengan kebaikan
yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Karena sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan
dingin atau panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun
untuk menghapus dosa, maka akan mempunyai kesempatan besar untuk
berhasil. Dibandingkan hanya menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu,
meskipun itu juga dapat turut menghapus dosamya. Ini adalah hukum
antara dia dengan Allah SWT. Sebagai dalil bahwa sesuatu dihapuskan
dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal seluruh kesalahan.
Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah: menyenangi dunia itu serta
merindukannya. Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani
seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat
(penghapus) cinta dunia itu. Karena dengan kesulitan dan kesusahan itu
hatinya akan menjauh dari dunia.
* * *
Kezhaliman Kepada Manusia
Sedangkan kezhaliman kepada manusia, di dalamnya juga terdapat
kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hak Allah SWT. Karena Allah SWT
juga melarang melakukan kezhaliman kepada manusia. Yang berkaitan dengan
hak Allah SWT dapat dihapuskan dengan penyesalan, merasakan kerugian,
serta tidak akan melakukan perbuatan semacama itu lagi nantinya.
Kemudian ia mengerjakan kebaikan yang menjadi lawan keburukan itu.
Tindakan aniaya yang ia lakukan terhadap manusia dihapus dengan
berbuatan baik kepada mereka. Dan tindakan mengambil harta mereka
dihapuskan dengan bersadaqah dengan hartanya yang halal. Ghibah dan
celaan yang ia lontarkan atas mereka diganti dengan memuji mereka. Serta
menampilkan kebaikan mereka dan orang-orang semacamnya. Membunuh
manusia ditebus dengan membebaskan budak, karena itu adalah suatu bentuk
penghidupan. Karena hamba yang menjadi budak adalah: ia hilang bagi
dirinya sendiri dan ada bagi tuannya. Pembebasan budak adalah suatu
pengadaan yang dapat dilakukan oleh manusia, dan ia tidak dapat
melakukan yang lebih dari itu. Pelenyapan ditebus dengan pengadaan yang
telah ditentukan.
Dari ini diketahui, cara penghapusan dosa dengan melakukan kebalikannya
itu, mempunyai landasan syari'atnya. Yaitu syari'at memerintahkan
menghapus dosa membunuh dengan membebaskan budak. Kemudian jika ia telah
melakukan itu semua, tetap tidak mencukupi untuk menebus dosanya jika
ia belum mengeluarkan hak orang lain yang ada padanya akibat kezaliman
yang ia lakukan. Kezaliman terhadap orang lain itu dapat berupa jiwa,
harta, kehormatan diri, dan hati, maksudnya tindakan aniaya.
Sedangkan jiwa, jika ia melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, maka
taubatnya itu adalah dengan memberikan diyat [Dosa ini juga mempunyai
cara penghapusan yang lain, yaitu membebaskan hamba sahaya yang mu'min,
dan jika ia tidak menemukan hamba itu maka ia dapat pula melakukan puasa
sebanyak dua bulan berturut-turut.], dan menyampaikan diyat itu kepada
orang yang berhak. Diyat itu dikeluarkan darinya atau dari keluarganya.
Dan ia masih belum bebas selama diyat itu belum sampai kepada yang
berhak. Namun jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan
mengharuskan ia diqishash maka penebusan itu adalah dengan qisas. Jika
ia tidak diketahui, maka ia harus mengakuinya kepada keluarganya, dan
meminta agar mereka menghukumnya. Jika mereka mau maka mereka
memaafkannya, dan jika mereka mau dapat pula mereka membunuhnya. Dan
tanggungannya itu tidak jatuh kecuali dengan cara itu, dan ia tidak
boleh menyembunyikan diri.
Tidak demikian halnya jika ia berzina, atau minum minuman keras,
mencuri, merampok, atau melakukan tindakan yang mewajibkannya menanggung
had Allah SWT. Dalam hal seperti ini, ketika ia ingin taubat, ia tidak
harus membuka rahasia pribadinya itu, kemudian meminta kepada pihak yang
berwenang untuk menunaikan hak Allah SWT. Namun sebaliknya, ia harus
menutupi dirinya itu, dan melakukan hukum Allah atas dirinya sendiri
dengan berbagai macam mujahadah dan penyiksaan diri. Karena ampunan dari
pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT amat dekat dengan orang-orang
yang menyesal dan bertaubat.
Namun jika perbuatannya itu kemudian ia laporkan kepada pihak yang
berwenang, dan ia kemudian dikenakan had sebagai hukumannya, maka
taubatnya menjadi sah dan diterima oleh Allah SWT. Dengan dalil dari
hadits sahih bahwa Ma'iz bin Malik datang kepada Rasulullah Saw dan
berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berlaku zhalim terhadap diriku
dan aku telah berzina, saat ini aku ingin agar baginda membersihkan
saya! Kemudian Rasulullah Saw menyuruhnya pulang. Pada keesokan harinya
ia kembali berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berzina! Kemudian
Rasulullah Saw kembali menyuruhnya pulang. Dan pada kesempatan yang
ketiga Rasulullah Saw memerintahkan agar menggali sebuah lobang dan
merajamnya. Saat itu manusia mempunyai dua pendapat: satu kelompok
berpendapat: ia telah binasa, dan kesalahannya itu menghancurkannya!
Sementara pihak yang lain berkata: tidak ada taubat yang lebih lurus
dari taubatnya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagi kepada
seluruh umat niscaya akan mencukupinya " [Hadits dikeluarkan oleh Muslim
dari hadits Buraidah bin Khashib]
Kemudian tentang qishash dan had qadzaf (menuduh zina orang baik-baik), harus diteliti orang yang berhak atas had itu.
Dan jika yang ia lakukan berkaitan dengan harta, seperti melakukan
ghashab, khianat atau menipu dalam berjual beli dengan bermacam cara
pengelabuan, seperti beriklan dengan tidak benar, menutupi kekurangan
barang yang ia jual, mengurangi bayaran terhadap orang yang ia sewa atau
tidak memberikan uang lelahnya sama sekali... seluruh perkara itu harus
ia teliti kembali, tidak dari masa balighnya, tapi dari awal
keberadaannya di muka bumi. Maka jika ada suatu kewajiban yang terdapat
dalam harta seorang anak kecil, maka saat baligh kewajiban itu harus ia
tunaikan, jika orang yang menjadi walinya tidak melaksanakannya.
Jika ia tidak menunaikannya maka ia menjadi orang yang zalim dan terus
harus menunaikannya. Karena dalam masalah harta, hak orang dewasa dengan
anak-anak adalah sama. Maka ia harus menghitung hingga harta sekecil
biji beras sekalipun, dari semenjak awal kehidupannya hingga hari
taubatnya. Sebelum ia ditanyakan di hari kiamat nanti. Hendaklah ia
berdialog secara terbuka dengan dirinya sendiri sebelum ia diteliti
nanti. Siapa yang tidak memperhitungkan dirinya di dunia, maka
perhitungannya itu akan dijalankan di akhirat.
Jika ia telah mencapai suatu pendapat yang kuat, disertai semacam
ijtihad sedapat mungkin, maka hendaklah ia menulisnya, dan menulis
orang-orang yang mempunyai hak atasnya satu-persatu. Kemudian ia mencari
mereka ke seluruh penjuru dunia, dan meminta maaf serta meminta
dihalalkan oleh mereka, atau ia menunaikan hak-hak mereka. Taubat
seperti ini sulit untuk dilakukan oleh orang yang biasa berlaku zhalim,
juga bagi para pedagang, karena mereka tidak dapat meminta maaf kepada
seluruh orang yang berinteraksi dengan mereka, juga kepada para ahli
warisnya. Namun masing-masing mereka dapat melakukan sejauh apa yang
mereka dapat kerjakan. Dan jika mereka tidak dapat melakukannya maka
tidak ada jalan lagi baginya, kecuali hanya dengan memperbanyak
kebaikan, hingga pada hari kiamat nanti kebaikan itu dapat diambil oleh
orang-orang yang ia zalimi. Dan hendaknya kebaikannya itu sebanyak
kezaliman yang telah ia lakukan. Karena jika kebaikan itu tidak
mencukupi untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan, maka ia akan
dibebani dengan dosa orang-orang yang ia zalimi itu, maka ia pun binasa
karena keburukan orang lain itu!!
Inilah cara seluruh orang yang melakukan taubat dalam mengembalikan
kezaliman yang mereka kerjakan. Dan itu akan menghabiskan seluruh usia
mereka untuk melakukan kebaikan, jika usianya memang panjang, sesuai
dengan panjangnya masa dan luasnya kezaliman mereka. Padahal ia tidak
tahu kapan ia mati? Dan barangkali ajalnya sudah dekat? Usaha keras dia
untuk melakukan kebaikan itu amat dituntut, karena waktu yang ia miliki
amat sempit, dibandingkan waktu saat ia melakukan keburukan. Ini adalah
hukum kezaliman yang masih berada dalam tanggungannya.
Sedangkan harta yang saat ini ada di tangannya, hendaklah ia kembalikan
kepada pemiliknya, jika ia mengetahui siapa pemiliknya. Dan jika ia
tidak mengetahuui siapa pemiliknya, maka hendaklah ia mensedekahkan
harta itu. Jika yang halal bercampur dengan yang haram, maka hendaklah
ia mengetahui kadar harta yang haram semampu dia. Kemudian mensedekahkan
jumlah itu seperti telah dijelaskan dalam buku al halal wa al haram.
Sedangkan kesalahan menyakiti hati orang adalah dengan meminta maat
kepada orang yang ia sakiti atau ia bicarakan keburukannya (ghibah).
Hendaklah ia meminta maaf kepada semua orang yang ia telah sakiti dengan
lidahnya, atau ia sakiti hatinya dengan suatu perbuatannya, secara satu
persatu. Sedangkan orang yang telah mati atau tidak ia temukan, maka ia
hanya dapat menutup kesalahannya kepada mereka itu dengan memperbanyak
kebaikan, dan nnantinya kebaikan itu akan diambil sebagai ganti tindakan
aniayanya oleh orang yang ia aniaya tadi, pada hari kiamat. Sedangkan
orang yang dapat ia temukan, kemudian orang itu memaafkannya dengan
ridha, maka ia telah mendapatkan penghapus kesalahannya. Dan ia harus
memberitahukan kesalahan yang telah ia lakukan kepadanya. Karena meminta
maaf dari kesalahan yang tidak jelas adalah tidak cukup. Karena kalau
ia tahu tindakan buruk dan aniaya yang ia lakukan kepadanya, barangkali
orang itu tidak akan memaafkannya. Dan ia akan menyimpan itu pada hari
kiamat, hingga nanti ia mengambil kebaikan orang yang berbuat jahat
kepadanya itu atau ia nanti membebani kesalahannya.
Sedangkan kesalahan kepada orang lain yang jika ia beritahukan akan
membuat orang lain itu teraniaya, seperti ia telah berzina dengan
budaknya, atau keluarganya, atau ia menyebutkan salah satu aibnya yang
tersembunyi, yang akan membuatnya amat marah, maka pintu untuk maaf
kepadanya baginya telah tertutup. Namun ia tetap harus mendapatkan
maafnya, dan kezaliman yang ia lakukan itu ia tebus dengan amal
kebaikan, seperti kezaliman terhadap orang yang telah mati atau tidak
ada.
Sedangkan jika ia menyebutnya dan mengakuinya, itu akan menjadi
keburukan baru yang harus ia mintakan maaf lagi. Meskipun ia telah
menyebutkan kesalahannya dan ia mengakuinya kepada orang yang telah
menjadi korbannya, kemudian orang itu tidak memaafkannya maka ia tetap
menanggung kesalahan itu. Karena itu adalah haknya, dan ia harus siap
menghadapinya. Dan berusaha untuk menjalankan kepentingan dan tujuannya.
Serta menunjukkan cinta dan sayang kepadanya, sehingga hatinya senang.
Karena manusia adalah hamba dari kebaikan. Orang yang lari dari
keburukan akan mendekat karena kebaikan. Dan jika hatinya telah senang
karena ia telah berusaha terus berbuat baik kepadanya, maka dirinya
dapat memaafkannya. Jika ia terus tidak memaafkan, maka usaha
berbaik-baik dengannya itu akan menjadi bagian dari kebaikan yang
mungkin dapat menebus kesalahannya pada hari kiamat nanti. Dan usaha
untuk berbuat baik dengannya itu hendaklah sama dengan kadar usaha yang
telah ia lakukan untuk membuatnya teraniaya. Sehingga keduanya
ditimbang, dan keburukannya masih lebih banyak, maka Allah SWT akan
mengambil kebaikannya itu sebagai ganti keburukan pada hari kiamat
nanti. Seperti orang yang telah mencuri harta orang lain, kemudian ia
ingin mengganti dengna jumlah yang sama, namun orang yang ia curi tidak
mau menerima dan tidak pula memaafkannya, maka hakim memutuskan baginya
untuk menangkap orang yang mencuri itu. Baik ia mau atau tidak. Begitu
pula hukum pada hari kiamat nanti oleh Allah Yang Mengadili dan Yang
Maha Adil.
Sedangkan tekad yang berkaitan dengan masa depan, adalah ia berjanji
kepada Allah SWT dengan janji yang kuat, serta bersumpah dengan
setinggi-tinggi sumpah, bahwa ia tidak akan kembali menjalankan dosa itu
atau sejenisnya. Seperti orang yang tahu saat ia sakit bahwa apel akan
membuat sakitnya makin parah, maka ia bertekad untuk tidak memakan apel
itu selama ia sakit. Dan tekad itu ia pancangkan saat itu juga, meskipun
ia tahu bahwa ia dapat dikalahkan oleh syahwatnya untuk memakannya.
Namun orang tidak mungkin bertaubat jika ia belum sepenuhnya bertekad
saat itu juga [Ihya Ulumuddin: juz 4 hal. 34-38, dengan sedikit
peringkasan dalam pengutipan]
Penjelasan al Ghazali tentang perkara yang berkaitan dengan hak-hak
hamba, secara global dapat diterima bersama. Namun Ibnu Qayyim mempunyai
penjelasan terperinci tentang beberapa hal, seperti akan kami sebutkan
nanti.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT, ada pendapat lain
berkaitan dengan shalat, dan qadhanya. Menurut pendapat madzhab yang
empat: harus diqadha shalat yang telah ia tinggalkan itu, meskipun telah
lewat puluhan tahun, ia mengqadhanya sebanyak yang telah ia tinggalkan
sepanjang waktu itu.
Pendapat kedua mengatakan: shalat yang dapat diqadha adalah shalat yang
ia tinggalkan karena tidur atau terlupa saja, seperti disebutkan dalam
hadits sahih. Sedangkan shalat yang sengaja ia tinggalkan, maka ia tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk mengqadhanya. Ia hanya dapat menebusnya
dengan memperbanyak shalat sunnah, menjalankan shalat waktu dengan baik
sesuai dengan yang disenangi Allah SWT, dalam ruku', sujud dan khusyu'.
Pendapat ini melihat orang yang baru mulai shalat setelah lama tidak
mengerjakannya, seperti orang yang baru masuk Islam. Ia memulai lembaran
barunya dengan Allah SWT, dan mengejar untuk melakukan perbuatan baik,
serta dengan segera mencapai ampunan Rabbnya dan surga yang seluas
langit dan bumi.
Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Dapat dilihat pada juz 1
dari kitab "madarij Salikin" karya Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim dan
syeikhnya Ibnu Taymiah menguatkan pendapat yang mengatakan tidak dapat
diqadha. Dan pendapat itu pula yang aku condong untuk memilihnya, bagi
orang yang telah telah menghabiskan usianya yang panjang namun ia tidak
pernah melakukan shalat.
Kemudian mari kita teliti sejenak tentang hak-hak manusia.
* * *
Taubat Dari Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Manusia
Karena beratnya hak-hak manusia, dan biasanya ia terjadi diiringi
pertengkaran dan permusuhan, maka taubat dari dosa ini dilakukan dengan
dua cara: pertama ia mengembalikan hak itu kepada orangnya, jika orang
itu masih haidup, atau kepada pewarisnya, jika ia telah mati. Cara kedua
adalah dengan meminta dihalalkan olehnya, setelah ia memberitahukannya,
jika itu adalah hak harta, aniaya atas tubuhnya atau tubuh orang yang
ia warisi. Seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw:
"Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik
harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta
dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham,
kecuali amal kebaikan dengan tanggungan dosa keburukan. (Hadits
diriwayatkan oleh Bukhari)
Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta
Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta
itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki
harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari
gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia
mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari
kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang
menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari
perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya,
atau kepada ahli warisnya.
Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau
karena masalah lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda
aturannya:
Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali
dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak
dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan
nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya
untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.
Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan
Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang
lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada
orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia
kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil
hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu
sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.
Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi
kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat
membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan
tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman
dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf
(tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya. Hendaklah ia tidak
meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga
musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat,
jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil
kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang
lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang
dilakukan mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi
kekurangannya, atau malah akan menambah timbangannya.
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman.
Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali.
Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut
kepada imam atau pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari
rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu
menjadi harta yang ditemukan dijalan (luqathah).
Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka
bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi
orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan mensedekahkan harta
itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin,
orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk
kepentingan kaum muslimin.
Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat
dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik
uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan
pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya,
sehingga mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka,
dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak
membatalkan pahala sadaqahnya itu. Dan Allah SWT tidak menyatukan antara
pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah
SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan
mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada
orang yang pernah dizhaliminya itu.
Ibnu Qayyim berkata:
Ini adalah mazhab sekelompok shahabat, seperti diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Hajjaj bin Sya'ir.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membeli seorang hamba sahaya wanita dari
seseorang, kemudian ia masuk untuk menimbang harganya, namun ketika ia
kembali pemilik budak itu telah pergi, dan iapun menunggunya hingga ia
lemas menunggu, maka iapun mensadaqahkan harga itu dan berkata: ya
Allah, sadaqah ini bagi pemilik hamba sahaya ini, jika ia merelakannya
maka pahala sadaqah itu untuk saya, dan jika ia tidak rela maka
pahalanya untuk saya, dan ia dapat mengambil dari kebaikan saya sesuai
dengan haknya.
Seorang laki-laki telah berlaku curang terhadap ghanimah, kemudian ia
bertaubat, dan membawa ghanimah yang telah ia curi itu kepada kepala
tentara, namun ia menolak untuk menerimanya, dan berkata: "bagaimana aku
dapat menyampaikannya kepada seluruh tentara itu, padahal mereka telah
berpencar dan pulang ke rumah masing-masing?" Kemudian orang itu
mendatangi Hajjaj bin Sya'ir, dan ia pun berkata kepadanya: "Hai bung,
sesungguhnya Allah SWT mengetahui tentara itu serta nama mereka dan
keturunan mereka. Maka berikanlah seperlima harta itu kepada orang-orang
yang berhak atasnya, kemudain sedekahkan sisanya dan pahalanya
diniatkan untuk mereka, karena Allah SWT akan menyampaikan itu kepada
mereka", dan orang itupun melakukan nasehat itu. Ketika Mu'awiyah
diberitahukan tentang hal itu ia berkata: "aku berfatwa dengan fatwa itu
lebih aku senangi dari pada setengah kerajaanku!"
Mereka berkata: demikian juga halnya dengan barang temuan jika tidak
ditemukan pemiliknya, setelah diumumkan, sementara ia tidak ingin
memilikinya, maka ia dapat mensedekahkannya, dan jika kemudian datang
pemiliknya ia dapat memberikan pilihan antara mendapatkan pahalanya atau
diganti.
Mereka berkata: hal ini karena, dalam syari'ah, orang yang tidak
diketahui dianggap seperti orang yang tidak ada. Jika pemiliknya tidak
ada maka itu seperti tidak ada pemiliknya. Ini berkaitan dengan harta
yang tidak diketahui siapa pemiliknya dengan pasti. Sementara harta itu
tidak boleh disia-siakan. Karena itu akan menciptakan mudarat bagi
pemiliknya, para fakir-miksin, dan orang yang berada dalam
tanggungannya. Bagi pemiliknya, itu akan membuat mudarat baginya karena
manfaatnya tidak sampai kepadanya. Demikian juga bagi para fakir miskin.
Sedangkan bagi orang yang berada dalam tanggungannya: karena ia tidak
dapat membebaskannya dari dosanya, sehingga ia dituntut diakhirat tanpa
mengambil manfaat darinya, dan itu tidak dibenarkan oleh syari'ah,
apalagi sampai memerintahkannya dan mewajibkannya. Karena syari'ah
berdasarkan pada "menghasilkan" kemaslahatan sedapat mungkin dan
menyempurnakannya. Serta menahan kemafsadatan sedapat dan sedikit
mungkin. Dengan menyia-nyiakan uang itu, tidak memanfaatkannya dan
melarang orang untuk mempergunakannya adalah kemafsadatan yang jelas,
dan tidak ada kemaslahatan sama sekali.
Seperti diketahui --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim-- orang yang
tidak mendapatkan hartanya yang seharusnya menjadi miliknya di dunia,
tentu ia akan amat senang ketika mendapatkan manfaat dari hartanya itu
di akhirat. Tentu ia akan amat tidak senang jika ia kemudian tidak dapat
memanfaatkan hartanya itu di dunia dan akhirat. Jika pahala hartanya
itu sampai di akhirat, tentu kebahagiaannya akan lebih dari pada
kebahagiaannya saat mendapatkannya di dunia. Maka mengapa ada yang
berpendapat: maslahat tidak mempergunakan harta ini -- bagi orang yang
telah meninggal, orang-orang miskin dan orang-orang yang berada dalam
tanggungannya-- lebih besar dari maslahat menginfakkannya secara syar'i?
Bahkan apa maslahatnya bagi agama atau dunia dalam penyia-nyiaan harta
tersebut? Bukankah tindakan penyia-nyiaan itu semata suatu kemafsadatan?
Ibnu Taimiah pernah ditanya seorang tua: "aku lari dari tuanku saat aku
berusia kecil, dan hingga saat ini aku tidak mendengar khabarnya lagi.
Aku adalah seorang hamba sahaya, dan takut terhadap azab Allah SWT atas
perbuatanku itu. Aku ingin terbebas dari hak tuanku atas diriku. Aku
telah bertanya kepada sekelompok mufti, dan mereka berkata kepadaku:
pergilah dan duduklah di gudang!" Mendengar hal itu Ibnu Taimiah tertawa
dan berkata: "hendaklah engkau bersedekah --sebisa dan sedapat mungkin
-- dan pahalanya untuk tuanmu itu, dan engkau tidak perlu ke gudang,
duduk tanpa menghasilkan manfaat, serta memberi mudarat bagi engkau,
serta menghalangi maslahat engkau. Sedangkan tuanmu juga tidak
mendapatkan manfaat dari tindakanmu berdiam di gudang itu, juga tidak
bagimu dan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam." (Lihat: Madarij as
Salikin: 1/387 - 390).
Orang-orang yang Mendapatkan Uang dari Transaksi yang Haram
Masalah ketiga: jika ia memperoleh uang dari orang lain dengan cara yang
haram, dan saat itu ia memegang uang tersebut -&endash;seperti uang
yang didapatkan oleh seorang pelacur dari langganannya, seorang
penyanyi dari hasil nyanyiannya, penjual khamar dari pembelinya, orang
yang memberikan saksi palsu dari penyogoknya, dan semacamnya-- kemudian
ia taubat, dan uang yang ia dapatkan dengan cara haram itu masih berada
pada dirinya; kemana seharusnya ia berikan uang tersebut?
Satu kelompok ulama berkata: uang agar dikembalikan kepada orang yang
memberikannya semula, karena itu memang hartanya, dan ia tidak dapat
memilikinya dengan izin dari Allah SWT, dan pemberinya pun tidak
mendapatkan manfaat yang halal dari uang yang ia berikan itu.
Satu kelompok ulama lainnya berkata: taubatnya adalah dengan bersedekah
dengan harta itu, dan ia tidak memberikannya kepada orang yang telah
memberikannya. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh syeikh
IbnuTaimiah, dan itu adalah pendapat yang paling bagus. Karena jika ia
tetap memegangnya, seharusnya uang itu ia dapatkan dari pemberinya
sebagai pemberian tanpa pamrih dan suka rela, bukan sebagai pembayaran
sesuatu yang haram. Lantas bagaimana mungkin ia mengembalikan uang itu
kepada si pemberinya, yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang itu
untuk bermaksiat kepada Allah SWT, dan mengembalikannya uangnya itu
kepadanya akan membantunya untuk melakukannya untuk kedua dan ketiga
kalinya? Bukankah itu berarti membantunya untuk melakukan dosa dan
pelanggaran syari'at? Apakah sesuai dengan kebaikan syari'at jika: para
pelacur diperintahkan untuk mengembalikan seluruh penghasilannya yang ia
dapatkan dari pelacuran kepada para lelaki hidung belang yang pernah
mengajaknya tidur dan membayarnya, dan si hidung belang diperbolehkan
untuk mengambil kembali uang itu dari si pelacur dengan cara baik-baik
maupun paksaan?
Katakanlah harta itu tidak dimiliki orang yang mengambilnya, namun
kepemilikan si pemiliknya yang pertama telah hilang ketika ia
memberikannya kepada orang yang bertransaksi dengannya secara haram itu,
dan ia pun sudah mendapatkan apa yang ditransaksikan itu. Lantas
bagaimana mungkin setelah itu ada yang mengatakan bahwa kepemilikkan si
orang pertama itu masih tetap ada dalam harta itu, dan uang itu harus
dikembalikan kepadanya? Ini berbeda halnya jika ia mensedekahkan uang
tersebut. Karena ia mendapatkan uang itu dari pemiliknya dengan suka
rela, dan pemiliknya itu pun bisa tidak keberatan jika uang itu kemudian
ia sedekahkan, dan tidak dikembalikan kepadanya. Dengan demikian, dalam
kasus seperti ini, cara yang paling benar adalah: agar harta tersebut
dipergunakan untuk suatu kemaslahatan yang dapat diambil manfaatnya oleh
orang yang memegangnya, dan dapat mengurangi dosanya, yakni dengan
mensedekahkannya, dan tidak digunakan untuk membantu si pembuat dosa
untuk melakukan perbuatan dosanya. Dengan begitu, berarti ia telah
mencapai dua kemaslahatan sekaligus.
Demikianlah taubat orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan
haram, yang keduanya tidak dapat ia bedakan: yaitu dengan mensedekahkan
kadar harta yang haram yang berada padanya, dan menggunakan harta
sisanya yang halal untuk dirinya. Wallahu a'lam.
Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti Ghibah dan Mencerca
Tadi kita berbicara tentang taubat dari pelanggaran atas hak-hak harta
orang lain. Kemudian bagaimana kita bertaubat dari hak-hak maknawi dan
etis mereka. Seperti melakukan penghinaan terhadapnya dengan ghibah,
qadzaf (menuduh zina), mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan
lainnya. Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar
memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan
ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah
berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara
detail kezhalimannya itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan
untuk mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat
kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada
orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?
Dalam hal ini ada tiga pendapat:
Dari imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf.
Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan
melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia
tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak?
Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat
orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk
memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya
itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab
mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil:
karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali
dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan
darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa
menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia
memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah
mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah
berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar
hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan
orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin
tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan
orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku
zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia
mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali,
namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai
bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah Saw :
"Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada suadaranya, baik
harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta
dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham,
kecuali kebaikan dengan keburukan".
Mereka berkata: karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan
hak manusia. Maka taubat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada
manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan
itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT
atasnya.
Mereka berkata: oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat
sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika
mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat
memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.
Pendapat yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam taubat itu
memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu
tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia
cukup bertaubat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah
ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu,
sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan
kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan
dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar
baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan
memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan
tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya
akan menambah kesal dan sakit hati saja. Barangkali orang itu berada
dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya,
justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan
akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Mereka berkata:
Dapat juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal permusuhan antara
dia dengan orang yang membeberkan kesalahannya itu, dan ia tidak akan
ridha terhadapnya selama-lamanya. Dari tahunya itu akan melahirkan
permusuhan dan kemarahan yang mengakibatkana kejahatan yang lebih besar
dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu bertentangan dengan tujuan
syari'ah untuk menyatukan hati dan saling kasih- sayang antara mereka.
Mereka berkata: perbedaan antara hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada dua segi:
Pertama: ia dapat mengambil manfaat darinya jika dikembalikan kepadanya,
oleh karena itu tidak boleh disembunyikan darinya, karena itu adalah
haknya, dan harus diberikan kepdanya. Berbeda dengan ghibah dan qadzaf,
dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya, malah
akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di antara keduanya
dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.
Kedua: karena tentang harta itu, jika ia memberitahukan orang yang
berhak itu, maka itu tidak membuatnya teraniaya, serta tidak pula
menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat membuatnya gembira dan
senang. Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek harga
dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf, ghibah dan
celaan. Maka mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama adalah
tidak benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu
a'lam. (Madarij Salikin: 1/289, 291).
* * *
Taubat dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain
Di antara pertanyaan yang penting yang menuntut untuk dijawab dan
dijelaskan hukumnya di sini adalah pertanyaan: apakah taubat dari suatu
dosa sah, jika sambil tetap melakukan dosa yang lain?
Dalam hal ini ada dua pendapat ulama, dan keduanya adalah dua riwayat
dari imam Ahmad. Orang yang mengatakan di situ ada ijma', tidak
mengetahui ikhtilaf pendapat yang terjadi, seperti an-Nawawi yang
berpendapat lain dan ulama lainnya.
Abu Thalib al Makki dalam kitabnya "Qutul Qulub" meriwayatkan pendapat
berikut ini dari beberapa ulama: orang yang telah taubat dari sembilan
puluh sembilan dosa, namun ia tidak bertaubat dari satu dosa, maka ia
menurut kami bukan kelompok orang yang bertaubat" [Qutul Qulub: 1/191]
Imam Ibnu Qayyim berkata: Masalah ini pelik, dan memiliki kerumitan
tersendiri. Namun perlu memilih salah satu pendapat itu dengan diperkuat
oleh dalil. Mereka yang mengabsahkan taubat seperti itu berdalil bahwa
keislaman seseorang jelas sah --dan keislaman itu adalah taubat dari
kekafiran-- meskipun ia masih tetap melakukan maksiat yang ia belum
bertaubat darinya. Maka demikian pula halnya dengan taubat dari suatu
dosa sambil masih tetap melaklukan dosa yag lain.
Sedangkan kelompok ulama yang lain berkata: keislaman itu lain
masalahnya dari yang lain, karena kekuatannya, serta keislaman itu dapat
terjadi --dengan keislaman kedua orang tuanya atau salah satunya-- bagi
anak kecil.
Sementara kelompok ulama yang lain lagi berdalil, bahwa taubat itu
adalah kembali kepada Allah SWT dari melanggar aturan-Nya menuju
ketaatan-Nya. Maka bagaimana ia dapat dikatakan kembali jika ia hanya
taubat dari satu dosa, sementara masih terus melakukan seribu dosa
lainnya?
Mereka berkata: Allah SWT tidak menghukum orang yang telah bertaubat
karena orang itu telah kembali kepada ketaatan dan penghambaanNya, serta
telah taubat dengan taubat nasuha. Sedangkan orang yang masih terus
melakukan dosa lain yang sejenisnya --atau malah lebih besar lagi--
tidak dapat dikatakan telah kembali kepada ketaatan, dan tidak pula
telah taubat dengan taubat nasuha.
Mereka berkata: karena orang yang bertaubat kepada Allah SWT, darinya
telah hilang cap "pelaku maksiat", seperti orang kafir ketika ia masuk
Islam yang hilang cap "kafir" itu darinya. Sedangkan orang yang tetap
melakukan dosa lain selain dosa yang ia mintakan taubat itu, maka cap
"maksiat" masih tetap melekat padanya, sehingga taubatnya tidak sah.
Rahasia masalah ini adalah: taubat itu memiliki macam-macam bagian,
seperti kemaksiatan, sehingga ia dapat taubat dari satu segi, tidak pada
segi lainnya, seperti antara keimanan dengan keislaman
Pendapat yang kuat adalah: taubat itu dipecah-pecah, seperti perbedaan
dalam pelaksanaannya. Demikian juga dalam jumlahnya. Maka jika seorang
hamba telah menjalankan suatu kewajiban dan meninggalkan kewajiban yang
lain, ia akan menerima hukuman atas yang ditinggalkan itu tidak atas
kewajiban yang telah dilakukannya. Demikian juga halnya orang yang telah
bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Karena
taubat adalah kewajiban dari dua dosa. Maka ia telah melakukan satu dari
dua kewajiban dan meninggalkan yang lain. Sehingga apa yang
ditinggalkannya tidak membuat batal apa yang telah dikerjakannya.
Seperti orang yang tidak melaksanakan hajji, namun menjalankan shalat,
puasa dan zakat.
Kelompok yang lain berkata: taubat adalah satu pekerjaan. Maknanya
adalah meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah SWT serta menyesal dari
perbuatannya yang buruk, dan kembali kepada ketaatan kepada Allah SWT.
Maka jika ia tidak melengkapinya, taubatnya itu tidak sah, karena ia
adalah satu kesatuan ibadah. Maka melaksanakan sebagian taubat sementara
meninggalkan taubat yang lain adalah seperti orang yang melakukan
sebagian ibadah dan meninggalkan bagian lainnya. Dan ikatan
bagian-bagian suatu ibadah satu sama lain lebih kuat dari ikatan
ibadah-ibadah yang bermacam-macam, satu sama lain.
Dan kelompok yang berpendapat lain berkata: setiap dosa memiliki taubat
yang khusus baginya, dan taubat itu wajib dilakukannya. Namun taubat itu
tidak berkaitan dengan taubat dari perbuatan lainnya. Seperti tidak ada
kaitan antara satu dosa dengan dosa lainnya.
Ibnu Qayyim berkata: menurutku dalam masalah ini adalah: suatu taubat
atas suatu dosa tidak sah jika orang itu tetap menjalankan dosa lainnya
yang sejenis. Sedangkan taubat dari satu dosa sambil masih melakukan
dosa lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dosa pertama, juga bukan
dari jenisnya, taubat itu sah. Seperti orang yang bertaubat dari riba,
dan belum bertaubat dari meminum khamar misalnya. Karena taubatnya dari
riba adalah sah. Sedangkan orang yang bertaubat dari riba fadhl,
kemudian ia tidak bertaubat dari riba nasi'ah dan terus menjalankan riba
ini, atau sebaliknya, atau orang yang taubat dari menggunakan obat bius
dan ia masih tetap minum minuman keras, atau sebaliknya, maka taubatnya
ini tidak sah. Ini adalah seperti orang yang bertaubat dari berzina
dengan seorang wanita, namun ia masih tetap berzina dengan wanita-wanita
lainnya, maka tidak sah taubatnnya. Demikian juga orang yang bertaubat
dari meminum juice anggur yang memambukkan, namun ia masih terus meminum
minuman lainnya yang memabukkan juga, maka orang ini sebetulnya belum
bertaubat. Namun ia hanya bnerpindah dari satu macam ke macam lainnya.
Berbeda dengan orang yang meninggalkan satu jenis maksiat, sambil
menjalankan maksiat jenis lainnya. Karena dosanya lebih ringan, atau
karena dorongannya baginya lebih kuat, serta kekuatan syahwat untuk
melakukan itu amat kuat baginya atau juga faktor-faktor yang
mendorongnya untuk terus melakukan itu masih tetap ada, tidak perlu
dicari. Berbeda dengan maksiat yang butuh dicari dahulu perangkatnya
untuk mengerjakannnya, atau juga karena teman-temannya memilikinya, dan
mereka tidak membiarkannhya untuk bertaubat darinya, dan ia memiliki
kehormatan di hadapan mereka, maka jiwanya tidak membiarkannya untuk
merusak penghormatan mereka atasnya itu dengan melakukan taubat [Madarij
Salikin: 1/273-275]
Pendapat yang aku pilih dalam masalah ini adalah: seluruh orang yang
bertaubat dari suatu dosa dengan taubat yang benar, maka diharapkan
Allah SWT menerima taubatnya, dari dosa itu. Meskipun ia masih terus
menjalankan dosa yang lain. Barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan
kaum Luth (homoseksual) dengan benar, niscaya Allah SWT akan menerima
taubatnya, meskipun ia masih berat untuk bertaubat dari zina. Orang yang
bertaubat dari riba nasi'ah, maka Allah SWT akan menerima tabatnya,
meskipun ia masih menjalankan riba fadhl. Atau ia taubat dari ghibah
(menceritakan keburukan orang) dan namimah (mengadu domba), meskipun ia
masih sering menghina orang, berbohong ketika bicara atau dosa lidah
lainnya.
Taubat itu sah karena taubat pada dasarnya adalah hasanah (kebaikan), bahkan kebaikan yang besar. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar" [an Nisa: 40]
Kemudian Allah SWT berjanji akan menerima taubat hamba-hamba-Nya secara
umum. Dan tidak mengkhususkan satu dosa dari dosa lainnya. Seperti dalam
firman Allah SWT:
"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan" [QS. asy-Syuura: 25].
Orang ini telah bertaubat dari dosanya, dan ia berhak untuk diterima taubatnya oleh Allah SWT dan dimaafkan.
Kemudian ini cocok dengan keluasan rahmat dan maghfirah Allah SWT yang
mencakup seluruh orang yang berdosa dan seluruh orang yuang bertaubat.
Seperti firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa seluruhnya".
Kemudian itu juga akan mengobati kelemahan manusia, dan menuntunnya
secara bertahap, dan membuka kesempatan baginya meningkat setahap demi
setahap. Sehingga ia dapat meninggalkan maksiat sedikit demi sedikit,
dan dari satu fase ke fase selanjutnya. Hingga pada akhirnya Allah SWT
memberikan hidayah kepadanya untuk meninggalkan seluruh kemaksiatan itu.
Dalam hadits sahih disabdakan:
"Kalian diutus hanya untuk memberi kemudahan dan tidaklah kalian diutus untuk membuat kesulitan".
Pendapat yang mengatakan diterimanya taubat seseorang yang taubat ketika
ia masih berbuat dosa lagi, dan ia kemudian kembali bertaubat, didukung
oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Seorang hamba melakukan dosa, dan berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah
melakukan dosa maka ampunilah aku. Tuhannya berfirman: hamba-Ku
mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus
dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian waktu berjalan dan orang
itu tetap seperti itu hingga masa yang ditentukan Allah SWT, hingga
orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang itupun kembali
berdo'a: Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah dosaku.
Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang
mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian
ia terus dalam keadaan demikian selama masa yang ditentukan Allah SWT,
hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: Ya Tuhanku,
aku telah melakukan dosa, maka ampunilah daku. Allah SWT berfirman:
Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan
menghapus dosanya. Maka Aku telah berikan ampunan kepada hamba-Ku,
(diulang tiga kali) dan silahkan ia melakukan apa yang ia mau" [Hadits
Muttafaq alaih: lihat: al Lu'lu wa al Marjan (1754) dan lihatlah: Fathul
Bari juz 13 hal. 46 dan setelahnya].
Al Qurthubi berkata dalam kitabnya "al Mufhim fi syarhi Muslim": Hadits
ini menunjukkan kebesaran faedah istighfar, dan keagungan nikmat Allah
SWT, keluasan rahmat-Nya serta sifat pemaaf dan pemurah-Nya. Namun
istighfar ini adalah permohonan taubat yang maknanya tertanam dalam hati
sambil diiringi dengan ucapan lidah, sehingga ia tidak lagi menjalankan
dosa itu, dan ia merasa menyesal atas perbuatan masa lalunya. Sehingga
itu adalah ungkapan praktekal atas taubat. Seperti dikatakan oleh
hadits: orang yang paling baik dari kalian adalah setiap orang yang
terfitnah (sehingga melakukan dosa) dan sering bertaubat". Maknanya:
yaitu orang yang terulang dosanya dan mengulang taubatnya. Setiap kali
ia jatuh dalam dosa ia mengulang taubatnya. Bukan orang yang berkata
dengan lidahnya: aku ber istighfar kepada Allah SWT, namun hatinya masih
terus ingin menjalankan maksiat itu. Inilah istighfar yang masih
membutuhkan kepada istighfar lagi!
Al Hafizh ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari ketika memberi
komentar atas hadits itu, sebagai berikut: hal ini diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari hadits Ibnu Abbas secara
marfu':
"Orang yang bertaubat adalah seperti orang yang tidak mempunyai dosa,
dan orang yang meminta ampunan dari dosa, sementara ia masih tetap
melakukan dosa, adalah seperti orang yang mengejek Tuhannya".
Ia berkata: yang rajih adalah: redaksi dari "wal mustaghfir... hingga
akhirnya, adalah mauquf. Atau dari perkataan Ibnu Abbas, bukan hadits
Nabi. Yang pertama menurut Ibnu Majah dan Thabrani, dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan sanadnya hasan.
Al Qurthubi berkata: faedah hadits ini adalah: kembali berbuat dosa
adalah lebih buruk dari ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena
dengan kembali berdosa itu ia berarti melanggar taubatnya. Tapi kembali
melakuian taubat adalah lebih baik dari taubatnya yang pertama, karena
ia berarti terus meminta kepada Allah SWT Yang Maha Pemurah, terus
meminta kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang dapat memberikan
taubat selain Allah SWT.
Imam an Nawawi berkata: dalam hadits itu, suatu dosa --meskipun telah
terulang sebanyak seratus kali atau malah seribu dan lebih-- jika orang
itu bertaubat dalam setiap kali melakukan dosa-- niscaya taubatnya
diterima, atau juga ia bertaubat dari seluruh dosa itu dengan satu
taubat, maka taubatnya juga sah. Dan redaksi: "perbuatlah apa yang
engkau mau" -- atau "Maka silakan ia berbuat apa yang ia mau" -
maknanya: selama engkau masih melakukan dosa maka bertaubatlah, niscaya
Aku akan ampuni dosamu" [Lihat: Fathul Bari: 14/ 471. Cetakan: Darul
Fikr al Mushawirah An Salafiyah]
Benar, taubat yang sempurna adalah taubat dari seluruh dosa. Dan itulah
yang akan membawa kepada keberuntungan yang disinyalir dalam firman
Allah SWT:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [QS. an-Nur: 31]
Taubat seperti itulah yang akan menghapus seluruh keburukan, dan
menghilangkan seluruh dosa, dan orangnya akan masuk dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari Allah SWT tidak
mengcewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya.
Inilah yang akan menarik cinta Allah SWT kepadanya, juga kesenangan dan senyum-Nya terhadap mereka.
Juga taubat yang sempurna adalah taubat yang tidak hanya mencegah orang
itu untuk kembali melakukan maksiat saja, namun ia adalah taubat yang
mendorongnya untuk melakukan ketaatan, menjalankan perbuatan yang saleh,
serta mematuhi hukum-hukum syari'ah dan adab-adabnya, secara zahir dan
bathin, antara dia dengan Rabbnya, antara dirinya dengan dirinya
sendiri, serta antara dirinya dengan seluruh makhluk. Sehingga ia dapat
mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat, dan mendapatkan kemenangan
surga serta selamat dari neraka.
Oleh karena itu, kita harus membedakan antara taubat yang menyeluruh
yang akan mengantarkan orang itu kepada kemenangan mendapatkan surga dan
selamat dari neraka, dengan taubat yang parsial yang memberikan
keuntungan kepada orang yang taubat itu serta membebaskannya dari suatu
dosa tertentu, meskipun ia tetap terikat dengan dosa yang lain. Kedua
macam taubat itu mempunyai ketentuan hukumnya masing-masing.
Taubat Orang yang Tidak Dapat Melakukan Maksiat
Di antara pertanyaan yang timbul di sini adalah: apa hukum orang yang
berbuat maksiat, jika saat bertaubat ia sudah tidak dapat lagi melakukan
kemaksiatan yang ia taubatkan itu, atau ia sudah telah melemah sehingga
tidak mungkin lagi melakukannya; apakah taubatnya itu sah?
Seperti orang yang berbohong, yang mengqadzaf orang lain, dan orang yang
memberikan kesaksian palsu, jika lidah orang itu telah terpotong
(karena suatu kecelakaan dan sebagainya). Orang yang berzina jika ia
telah kehilangan nafsu untuk berzina. Penguasa yang zalim jika ia telah
diberhentikan dari kedudukannya, dan ia tidak mampu lagi berbuat zhalim.
Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai
dorongan lagi untuk berbuat maksiat.
Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat.
Satu kelompok ulama berkata: taubatnya tidak sah. Karena taubat itu
seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau
meninggalkan perbuatan maksiat yang ia taubatkan itu. Taubat dilakukan
terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang
mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan taubat atas
memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di
udara tanpa alat atau sejenisnya.
Mereka berkata: karena taubat adalah mengalahkan dorongan nafsu, dan
mengikuti panggilan kebenaran. Sementara dalam masalah tadi tidak ada
dorongan nafsu lagi, karena ia tahu tidak akan mampu mengerjakannya.
Mereka berkata: ini adalah seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan
sesuatu pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa pula. Orang yang seperti
ini tidak sah taubatnya.
Mereka berkata: yang diterima fitrah dan akal manusia adalah, taubat
orang yang pailit dan yang kejepit, adalah taubat yang tidak dapat
diterima, dan tidak terpuji. Malah mereka menamakannya sebagai taubat
orang pailit dan taubat orang kejepit.
Seorang penyair berkata: "Maka segera ku tanyakan tentang taubatnya ku
dapati ternyata taubatnya adalah taubat orang yang pailit"!
Mereka berkata: ini juga menunjukkan bahwa teks-teks yang banyak dan
jelas menunjukkan bahwa taubat yang dilakukan ketika datang maut adalah
tidak bermanfaat. Karena itu adalah taubat orang yang kepepet dan tidak
memiliki pilihan lain: Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah
taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah
taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, (barulah)
ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula
diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran.
Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. an
Nisa: 17-18]
Dan "al-jahalah" di sini maksudnya adalah: ketidak tahuan kerja,
meskipun ia tahu akan keharaman itu. Qatadah berkata: para sahabat
Rasulullah Saw berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di dalamnya Allah
SWT dimaksiati adalah kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak. Dan
seluruh orang yang maksiat kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh.
Sedangkan taubat secepatnya adalah: menurut mayoritas mufassir, taubat
itu adalah taubat sebelum orang itu menghadapi ajalnya. Ikrimah berkata:
ia adalah taubat sebelum mati. Dhahhak berkata: ia adalah taubat
sebelum menjumpai malaikat maut. As-Sudi dan al Kulabi berkata: yaitu
agar orang bertaubat pada waktu sehatnya dan sebelum ia sakit menjelang
matinya.
[Sayyid Rasyid Ridha memberikan komentar atas pendapat-pendapat itu:
manusia banyak tertipu dengan zhahir pendapat-pendapat ini dalam
menafsirkan ayat-ayat al Quran dan hadist-hadits itu, membuat mereka
banyak menunda taubat, dan terus melakukan kemaksiatan, sehingga
kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka, dan nafsu mereka
menyenanginya. Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan yang tidak
dapat --atau sulit-- untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang
langka saja. Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih
bergelimang dalam nafsu mereka. Makna ayat itu bukanlah: bahwa taubat
yang diridhai dan dijamin diterima oleh Allah SWT adalah taubat atas
kemaksiatan yang terus dilakukan oleh seseorang hingga menjelang
sakratul maut, hingga beberapa jam atau beberapa menit sebelumnya. Namun
yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak lama setelah melakukan sesuatu
dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti disebutkan pada ayat
yang lain. Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah, Dhahhak dan yang
lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadits; bahwa Allah SWT akan
menerima taubat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum
sekarat. Maksudnya, seandainya ia bertaubat pada suatu waktu, sebelum
datang sakratul maut dan ajal tiba, niscaya taubatnya akan diterima. Dan
itu tidak bertentangan dengan ayat. Karena manusia mungkin ada yang
datang keinginan taubatnya beberapa saat sebelum sakratul maut atau
ajalnya tiba, terhadap dosanya yang belum lama ia lakukan, namun jarang
ada orang yang bertaubat dari dosa yang telah ia lakukan semenjak lama
dan terus menerus, dan jikapun ia bertaubat dari macam dosa yang disebut
terakhir itu, maka jarang sekali orang seperti itu dapat memperbaiki
apa yang telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia lakukan secara terus
menerus itu. Sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya Aku Maha
Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian
tetap di jalan yang benar. Kesimpulannya: Yang dimaksudkan adalah terus
menerus melakukan dosa dan menunda-nunda untuk bertaubat adalah
berbahaya, meskipun taubat dari dosa semacam itu masih dapat diterima
jika dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum sakratul maut tiba), namun
biasanya orang mati dalam keadaan sebagaimana ia sehari-harinya, selama
ini, oleh karena itu orang-orang yang tertipu dengan menunda-nunda
taubatnya hendaknya ia berhati-hati ]
Dalam musnad dan kitab lainya dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum sekarat mati " .
Dalam naskah darraj dari Abi Sa'id secara marfu' disebutkan:
"Sesungguhnya syaitan berkata: demi kemuliaan-Mu ya Tuhan, aku akan
terus berusaha menggoda hamba-hamba-Mu selama ruh mereka berada dalam
tubuh mereka. Allah SWT berfirman: demi Kemuliaan-Ku, Keagungan-Ku dan
Ketinggian kedudukan-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan kepada
hamba-hamba-Ku selama mereka meminta ampunan kepada-Ku." [Hadits ini
dha'if, karena ia merupakan riwayat Darraj, dan dia adalah dha'if,
terutama riwayatnya dari Abi Haitsam.]
Ini adalaah orang yang bertaubat secepatnya. Sedangkan orang yang
bertaubat saat sekarat, dan ia berkata: saat ini aku bertaubat! Maka
taubatnya tidak dapat diterima. Karena itu adalah taubat terpaksa bukan
karena dorongan kesadararn diri. Ia adalah seperti taubat setelah
matahari terbit dari Barat, pada hari kiamat, dan ketika menemui ajal.
Mereka berkata: karena hakikat taubat adalah: mencegah diri dari
mengerjakan sesuatu yang dilarang. Dan tindakan itu dilakukan oleh orang
yang mampu mengerjakannya,. Sedangkan orang yang tidak mungkin
mengerjakannya, adalah tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk
melakukan itu. Juga karena taubat adalah dengan membebaskan diri dari
dosa, dan orang yang memang tidak dapat lagi mengerjakan dosa itu,
bagaimana mungkin ia kemudian mencegah dirinya dari menjalankan dosa
itu.
Mereka berkata: karena dosa adalah keinginan kuat untuk mengerjakan
sesuatu yang diharamkan, serta diikuti dengan kemampuannya. Dan taubat
darinya berarti: tekad yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa yang
dapat ia kerjakan itu, dilanjutkan dengan meninggalkannya. Sedangkan
tekad untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia kerjakan adalah
mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan perbuatan yang memang ia tidak
mampu mengerjakannya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan tekad
sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak lebih dari semisal
meninggalkan keinginan terbang di udara, memindahkan gunung dan
sebagainya.
Pendapat kedua: (pendapat yang benar) adalah taubatnya itu diterima,
mungkin dan dapat terjadi. Karena rukun-rukun taubat masih ada padanya.
Yang dapat ia lakukan dari perbuatan itu adalah penyesalan. Dalam musnad
Ahmad secara marfu' diriwayatkan hadits: "Penyesalan adalah taubat.
Maka jika ia telah menyesal atas dosanya, serta mencela dirinya sendiri,
itu adalah taubat. Mengapa kemudian hak taubat itu diambil darinya,
meskipun ia telah amat menyesal atas dosanya, dan telah berulang kali
menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi jika ia juga menangis, sedih dan
takut, serta bertekad kuat dan berniat jika ia sehat dan ia mempunyai
kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu ia tidak akan
mengerjakannya.
Juga karena dalam syari'at, orang yang tidak dapat melakukan ketaatan
dikelompokkan dalam golongan orang yang mengerjakan ketaatan itu, jika
niatnya benar. Seperti dalam hadits sahih:
"Jika seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis
pahala amal yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."
Dan dalam hadits sahih lainnya dari Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian
melakukan perjalanan dan menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga
bersama kalian. Para sahabat bertanya: "Dan saat itu mereka berada di
Madinah"?. Rasulullah Saw menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak
dapat ikut bersama kalian semata karena mereka mempunyai uzur".
Banyak lagi terdapat hadits sejenis. Maka meletakkan orang yang tidak
dapat melakukan maksiat, yang meninggalkan maksiat itu secara terpaksa
(sambil ia berniat akan meninggalkan kemaksiatan itu secara suka rela
jika ia mempunyai kemampuan) pada posisi seperti orang yang meninggalkan
sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan tekadnya sendiri, adalah lebih
utama.
Ia menjelaskan: kemafsadatan dosa yang diancam akan diberikan hukuman
itu kadang timbul dari keinginannya, atau dari mengerjakannya. Dan
kemafsadatan itu tidak terdapat dalam orang yang tidak dapat melakukan
maksiat itu, baik tekad atau mengerjakannya langsung. Dan hukuman adalah
mengikuti mafsadat itu.
Jika orang ini tidak dapat melakukannya, ia masih dapat menghayalkan dan
menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah: Jika ia sehat ia akan
melakukannya. Maka taubatnya itu adalah dengan membersihkan dirinya dari
keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus melakukan dosa itu
masih terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia berkeinginan untuk
melakukan yang sebaliknya, maka itu adalah taubatnya. Itu baginya lebih
mungkin dan dapat terjadi daripada berkeinginan untuk terus menjalankan
maksiat. Ini amat jelas.
Perbedaan antara orang seperti ini dengan orang yang sedang menghadapi
kematiannya serta orang yang sedang menghadapi hari kiamat adalah: beban
(taklif) telah terputuskan ketika datang kematian dan saat hari kiamat
datang. Sedangkan taubat itu masih dalam masa taklif (beban). Dan orang
yang lemah ini tidak terputus baginya taklif. Maka perintah dan larangan
masih melekat padanya. Mencegah berbuat dosa masih dapat ia lakukan,
daripada menginginkan dan merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal
tidak dapat melakukannya. Kemudian ia mengganti semua itu dengan
penyesalan dan kesedihan karena ia telah melakukannya. Wallahu a'lam.
[Madarij Salikin: 1 / 283 - 286.]
Manusia diberi kesempatan utk memperbaiki diri. Iaitu dgn bertaubat dari
perbuatan2 yg boleh memasukkannya ke dalam neraka. Taubat yg dilakukan
haruslah total, yg dikenal dgn taubat nasuha.
Rasulullah s.a.w bersabda:
“Setiap anak Adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik2nya org yg
bersalah adalah bertaubat” HR At Tirmidzi no. 2499 dan dihasankan oleh
al-Albani dalam Shahih al Jami’ Ash Shaghir, no:4391.
“Seandainya hamba2 Allah tidak ada yg berbuat dosa, tentulah Allah akan
menciptakan makhluk lain yg berbuat dosa kemudian mengampuni mereka” HR
Al Hakim, hal 4/246 dan disahihkan oleh al Albani dalam Silsilah
Shahihah, no:967.
Dengan bertaubat, kita dapat membersihkan hati dari noda yg
mengotorinya. Sebab dosa menodai hati, dan membersihkannya merupakan
KEWAJIPAN.
Rasulullah bersabda:
Maksudnya:
“Sesungguhnya seorg mukmin bila berbuat dosa, maka akan (timbul) sati
titik noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan (perbuatan
tersebut) dan memohon keampunan (kepada Allah), maka hatinya kembali
bersih. Tetapi bila menambah (perbuatan dosa), maka bertambahlah noda
hitam tersebut sampai memenuhi hatinya. Maka itulah ar raan (penutup
hati) yg telah disebutkan Allah dalam firmanNya yg bermaksud:
“Sekali2 tidak (demikian), sebenarnya apa yg selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka” Q.S Al Muthaffifin:14
HR Ibnu Majah, no: 4244.
Allah juga menganjurkan kita utk segera bertaubat dan beristighfar. Allah berfirman maksudnya:
“Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bg mereka, dan adalah
lebih baik bg mereka, dan jika mereka berpaling, nescaya Allah akan
mengazab mereka dgn azab yg pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka
sekali2 tidak mempunyai penolong di muka bumi”
Q.S At Taubah:74.
Rasulullah sendiri banyak bertaubat dan beristighfar, sehingga para
sahabat menghitungnya sebanyak lebih 100 kali dalam satu majlis,
sebagaimana Nafi’ Ibnu Umar telah menyatakan:
Maksudnya:
“Ibnu Umar pernah menghitung (bacaan istighfar) Rasulullah s.a.w dalam
suatu majlis sebelum bangkit 100 kali, (yg berbunyi): “Ya Rabbku,
ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima
Taubat lagi Maha Pengampun”
HR At Tirmidzi, no: 3434.
PENGERTIAN TAUBAT NASUHA
TAUBAT NASUHA ialah kembalinya seseorg hamba kpd Allah dari dosa yg
pernah dilakukannya, baik sengaja ataupun kerana ketidaktahuannya, dgn
jujur, ikhlas, kuat dan didokong dgn ketaatan2 yg mengangkat seorg hamba
mencapai kedudukan para wali Allah yg muttaqin (bertaqwa) dan
(ketaatan) yg dapat menjadi pelindung dirinya dari syaitan.
HUKUM ANJURAN TAUBAT NASUHA
Hukum taubat nasuha adalah FARDHU ‘AIN (menjadi kewajipan setiap individu) atas setiap muslim. Dalilnya:
1. Firman Allah swt yg bermaksud:
“Dan bertaubatlah kpd Allah, hai org2 yg beriman supaya kamu beruntung”
Q.S. An Nuur:31.
“Hai org2 yg beriman, bertaubatlah kepada Allah dgn taubat yg semurni2nya”
Q.S. At Tahrim:8.
2. Sabda Rasulullah s.a.w yg bermaksud:
“Wahai kaum mukminin. Bertaubatlah kepada Allah, kerana aku juga bertaubat kpd Allah sehari 100 kali”
HR Muslim (17/24) dgn Syarh Nawawi, dari hadith ‘Abdullah bin ‘Umar.
3. Imam al Qurthubi menyatakan:
“(Para ulama) umat telah ijma’ (bersepakat) bahawa hukum bertaubat adalah fardhu (wajib) atas seluruh mukminin”
Al Jami’ Li Hikam al Quran (5/90).
4. Ibnu Qudamah juga menyatakan demikian.
Mukhtasar Minhaj al Qashidin, hal 322.
KELUASAN RAHMAT ALLAH DAN KEUTAMAAN TAUBAT NASUHA
Manusia hendaklah jgn khuatir jika taubatnya tidak diterima, kerana
rahmat Allah sangat luas, sebagaimana do’a para malaikat yg dijelaskan
dalam firmanNya yg bermaksud:
“Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka
berilah ampunan kepada org2 yg bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan
peliharalah mereka dari seksaan neraka yg bernyala2”
Q.S Al Mu’min: 7.
SYARAT TAUBAT NASUHA
1. Islam
Taubat yg diterima hanyalah dari seorg MUSLIM. Org kafir, taubatnya ialah dgn MEMELUK ISLAM.
Allah berfirman yg bermaksud:
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari org2 yg mengerjakan
kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kpd seseorg di antara
mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya aku bertaubat sekarang’.
Dan tidak (pula diterima taubat) org2 yg mati sedang mereka di dalam
kekafiran. Bagi org2 itu telah Kami sediakan seksa yg pedih”
Q.S. Al Nisaa’:18.
2. Ikhlas
Allah berfirman yg bermaksud:
“Kecuali org2 yg taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh
pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka kerana
Allah. Maka mereka itu adalah bersama2 org yg beriman dan kelak Allah
akan memberikan kepada org2 yg beriman pahala yg besar”
Q.S An Nisaa’:146.
3. Mengakui dosanya
Mengetahui perbuatan dosa tersebut dan mengakui kesalahannya, serta berharap selamat akibat buruk perbuatan tersebut.
4. Penuh penyesalan
Menunjukkan penyesalannya yg mendalam.
Rasulullah s.a.w bersabda yg bermaksud:
“Penyesalan adalah taubat”
HR Ibnu Majah, no:4252 dan Ahmad no:3568.
5. Meninggalkan kema’siatan dan mengembalikan hak2 kepada pemiliknya
Wajib meninggalkan kema’siatannya dan MENGEMBALIKAN setiap hak kpd
pemiliknya, jika berupa harta dan sejenisnya. Jika berupa tuduhan dan
fitnah atau sepertinya, maka dgn cara MEMINTA MAAF. Apabila berupa
ghibah, maka dgn cara MEMOHON DIHALALKAN (ditoleransi) selama permohonan
tersebut tidak menimbulkan pengaruh buruk yg lain. Bila ternyata
berimplikasi buruk, maka cukuplah MENDO’AKANNYA utk meraih kebaikan.
6. Masa bertaubat sebelum nafas di kerongkongan (sakaratul maut) dan sebelum matahari terbit di arah barat.
Rasulullah menjelaskan yg bermaksud:
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorg hamba sebelum nafasnya berada di kerongkongan”
HR At Tirmidzi, no:3537.
“Hijrah tidak terputus sampai terhentinya (masa utk) taubat, dan taubat
tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat”
HR Abu Dawud, no:2479 dan Ahmad dalam Musnad (3/99).
7. Istiqomah setelah bertaubat
Firman Allah yg bermaksud:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yg benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) org yg telah taubat beserta kamu dan jgnlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yg kamu kerjakan”
Q.S Huud: 112.
8. Mengadakan perbaikan setelah taubat
Allah berfirman yg bermaksud:
“Apabila org2 yg beriman kepada ayat2 Kami itu datang kepadamu, maka
katakanlah: ‘Salaamun-‘alaikum. Rabbmu telah menetapkan atas diriNya
kasih sayang, (iaitu) bahawasanya barangsiapa yg berbuat kejahatan di
antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
Q.S. Al An’aam: 54.
PERINGATAN PENTING KETIKA BERTAUBAT
1. Meyakini bahawa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat.
2. Melihat keagungan Dzat yg kita derhakai, dan jangan melihat kecilnya ma’siat sebagaimana firmanNya yg bermaksud:
“Khabarkan kpd hamba2Ku, bahawa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang, dan bahawa sesungguhnya azabKu adalah azab yg
sangat pedih”
Q.S. Al Hijr: 50.
3. Ingatlah bahawa dosa itu semuanya buruk. Kerana ia menjadi penghalang dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Meninggalkan tempat2 ma’siat dan teman2 yg berperangai buruk, yg
biasanya menmbantu berbuat dosa, serta memutuskan hubungan dengan mereka
selama mereka belum berubah menjadi baik.
HAL2 YG MENGHALANGI TAUBAT
1. BID’AH DALAM AGAMA
Rasulullah s.a.w bersabda yg bermaksud:
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”
(Ash-Shahihah no:1620).
2. MINUMAN KERAS
Rasulullah s.a.w bersabda yg bermaksud:
“Barangsiapa minum khamr (minuman keras), maka solatnya TIDAK DITERIMA
selama 40 malam. Jika ia bertaubat, maka Allah akan menerimanya. Namun,
bila mengulanginya lagi, maka Allah memberinya sungai Khibaal. Ada yg
bertanya: ‘Apa itu sungai Khibaal?’ Baginda menjawab: ‘Nanah penduduk
neraka’”.
Demikianlah secara ringkas tentang taubat nasuha. Semoga dapat menjadi
peringatan kepada diri saya dan kita semua utk sentiasa bertaubat kepada
Allah.
Petikan Maj As Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1426H/2005M.
Fadlilatu As Syaikh Al’Allamah Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin BazzSoal :
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Aku adl seorang pemuda
berusia 21 tahun. Semenjak usiaku 8 tahun aku telah diuji dgn perbuatan
liwath . Hal itu terjadi krn ayahku disibukkan dari memberikan
pendidikan yang baik kepadaku.Dan keadaanku sekarang aku menjalani
kehidupan yg penuh derita krn perbuatan liwath tersebut. Sekarangpun aku
menyesali perbuatan itu hingga rasa penyesalanku sampai pada tingkatan
aku memikirkan utk melakukan bunuh diri.Wal ‘iyaadzubillahDan yg
menambah derita dan adzab yg aku rasakan keluargaku menghendaki aku utk
segera menikah.Maka dari itu aku mengharap dari anda yg mulia agar
memberikan bimbingan kepadaku supaya bisa kembali ke jalan yg benar. Dan
agar anda memberikan obat menurut syar’i yg menyembuhkan/menyelamatkan
aku dari masalahku ini sehingga aku bisa melepaskan diri dari kehidupan
yg penuh adzab yg selama ini aku jalani krn melakukan perbuatan liwath
.Jawaban Syaikh bin Bazz : Wa’alaikumsalam warahmatullaahi
wabarakaatuh.’Amma ba’du : Aku memohon kepada Allah agar Allah
memberikan penjagaan kepadamu dari hal - hal yg telah engkau
sebutkan.Tidak diragukan lagi bahwa apa yg telah engkau sebutkan berupa
perbuatan liwath yg engkau lakukan itu merupakan dosa yg besar. Akan
tetapi obat /solusi untuk bisa lepas dari perbuatan homoseks tersebut
adl hal yg mudah. Alhamdulillah.Obat itu adl bersegeralah engkau utk
melakukan taubat nasuha {taubat yg sebenar- benarnya}. Taubat nasuha
yaitu dgn menyesali perbuatan dosa/maksiat yg telah dilakukan pada waktu
yg lampau dan besegera meninggalkan/menarik diri dari perbuatan
dosa/maksiat tersebut. Taubat nasuha juga harus dgn tekad/azzam yg benar
utk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Hal itu bisa
dilakukan dgn bersahabat/bergaul dgn orang-orang yg shalih/baik
meninggalkan /menjauh dari perkara-perkara yg bisa menjadi wasilah/jalan
utk melakukan dosa itu kembali dan bersegeralah engkau utk menikah.Dan
aku berikan kabar gembira dgn kebaikan keberuntungan dan kesudahan yg
terpuji jika engkau benar dalam taubat yg engkau lakukan. Hal ini
sebagaimana firman Allah ta’ala : dan bertaubatlah kalian semua kepada
Allah wahai orang-orang yg beriman supaya kalian mendapatkan
keberuntungan .Dan firman Allah ‘azza wa jalla dalam suratAt Tahrim :
Wahai orang-orang yg beriman bertaubatlah kalian kepada Allah dengan
taubat yg sebenar- benarnya”.Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam:
Taubat menggugurkan dosa-dosa yg dilakukan sebelumnya .Dan sabda beliau
shallallahu’alaihi wasallam: Orang yg bertaubat dari dosa seperti orang
yg tidak mempunyai dosa .Dan semoga Allah memberikan taufiq kepada
engkau meperbaiki hati dan amalanmu serta semoga Allah mengaruniakan
kepada engkau taubat nasuha dan teman-teman yg shalih.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
{Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari ‘Fataawa wa Maqaalaat bin
Baaz ’ Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid}Buletin Dakwah Al-Atsary
Semarang Edisi 11/Th.I/1427H
sumber : file chm Darus Salaf 2
Taubat Nasuha 1/2
Manusia tidak lepas dari kesalahan, besar maupun kecil, disadari maupun
tanpa disengaja. Apalagi jika hawa nafsu mendominasi jiwanya. Ia akan
menjadi bulan-bulanan berbuat kemaksiatan. Ketaatan, seolah tidak
memiliki nilai berarti.
Meski manusia dirundung oleh kemaksiatan dan dosa menumpuk, bukanberarti
tak ada lagi pintu untuk memperbaiki diri. Karena, betapapun menggunung
perbuatan maksiat seorang hamba, namun pintu rahmat selalu terbuka.
Manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Yaitu dengan bertaubat
dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya ke jurang neraka.
Taubat yang dilakukan haruslah total, yang dikenal dengan taubat
nashuha. Rasulullah bersabda;
Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik- baiknya
orang yang bersalah adalah yang bertaubat.2
Seandainya hamba-hamba Allah tidak ada yang berbuat dosa, tentulah Allah
akan menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa kemudian mengampuni
mereka. 3
Dengan bertaubat, kita dapat membersihkan hati dari noda yang
mengotorinya. Sebab dosa menodai hati, dan membersihkannya merupakan
kewajiban. Rasulullah bersabda :
Sesungguhnya seorang mukmin bila berbuat dosa, maka akan (timbul) satu
titik noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan (perbuatan
tersebut) dan memohon ampunan (kepada Allah), maka hatinya kembali
bersih. Tetapi bila menambah (perbuatan dosa), maka bertambahlah noda
hitam tersebut sampai memenuhi hatinya. Maka itulah ar raan (penutup
hati) yang telah disebutkan Allah dalam firmanNya :
"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutup hati mereka." (QS Al
Muthaffifin:14).
Allah juga menganjurkan kita untuk segera bertaubat dan beristighfar,
karena hal demikian jauh lebih baik daripada larut dalam dosa. Allah
berfirman, (artinya):
Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika
mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang
pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS At Taubah : 74).
Rasulullah sendiri telah memberikan contoh dalam bertaubat ini. Beliau
banyak bertaubat dan beristighfar, sampai-sampai para sahabat
menghitungnya sebanyak lebih dari seratus kali dalam satu majlis,
sebagaimana Nafi’ maula Ibnu Umar telah menyatakan :
Ibnu Umar pernah menghitung (bacaan istighfar) Rasulullah, dalam suatu
majlis sebelum bangkit darinya seratus kali, (yang berbunyi) : Ya
Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha
penerima taubat lagi Maha pengam pun. 5
1 Pengertian Taubat Nashuha
Yang dimaksud dengan taubat nashuha, adalah kembalinya seorang hamba
kepada Allah dari dosa yang pernah dilakukannya, baik sengaja ataupun
karena ketidaktahuannya, dengan jujur, ikhlas, kuat dan didukung dengan
ketaatan-ketaatan yang mengangkat seorang hamba mencapai kedudukan para
wali Allah yang muttaqin (bertakwa) dan (ketaatan) yang dapat menjadi
pelindung dirinya dari setan.
2 Hukum Dan Anjuran Taubat Nashuha
Hukum taubat nashuha adalah fardhu ‘ain (menjadi kewajiban setiap
individu) atas setiap muslim. Dalilnya :
1. Firman Allah :
Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS An Nuur:31).
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni- murninya. (QS At Tahriim : 8).
2. Sabda Rasulullah :
Wahai, kaum mukminin. Bertaubatlah kepada Allah, karena saya juga
bertaubat kepada Allah sehari seratus kali.6 Umat Islam juga telah
bersepakat tentang kewajiban bertaubat, sebagaimana dinyatakan Imam Al
Qurthubi : "(Para ulama) umat telah ijma’ (bersepakat) bahwa hukum
bertaubat adalah fardhu (wajib) atas seluruh mukminin". 7 Ibnu Qudamah
juga menyatakan demikian.8
3. Keluasan Rahmat Allah Dan Keutamaan Taubat Nashuha
Manusia hendaklah jangan khawatir jika taubatnya tidak diterima, karena
rahmat Allah sangat luas, sebagaimana do’a para malaikat yang
dijelaskan dalan firmanNya, (artinya):
Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka
berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan
Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala- nyala,
(QS Al Mu’min:7).